Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

YLBHI Sebut Perubahan Kedua UU ITE Berpotensi Memblokir Konten Kritis Masyarakat

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut perubahan kedua UU ITE berpotensi memblokir konten kritis masyarakat. Seperti yang diketahui, UU ITE disahkan melalui rapat paripurna DPR RI.Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, melalui rilis resminya memandang DPR dan Pemerintah gagal untuk merevisi UU ITE secara demokratis. DPR dan Pemerintah nampak tidak mau belajar dari kesalahan dalam praktik revisi maupun penyusunan UU sebelumnya.Menurut Isnur, beberapa kesalahan dalam revisi maupun penyusunan UU sebelumnya terkesan elitis, tertutup, tidak transparan dan akuntabel. Serta, mengabaikan partisipasi bermakna yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi."Ironisnya, sampai dengan di sahkan pada rapat paripurna DPR 4 Oktober 2023 yang lalu, publik tidak dapat mengakses dokumen resmi RUU tersebut. Situs resmi DPR bahkan tidak menyediakan informasi yang dimaksud dari awal hingga pengesahannya," kata Isnur.YLBHI melihat masih dipertahankannya pasal bermasalah dalam revisi UU ITE seperti halnya beberapa pasal berikut diantaranya Pasal 27 ayat (3) yang meski terdapat pengurangan hukuman untuk pencemaran nama baik dan dirumuskan menjadi delik aduan absolut."Atau ditambahkannya Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja yang sebelumnya juga terdapat dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana," ucap Isnur.Isnur menyebutkan, pengaturan Pasal 40 berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik."Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik," tegas Isnur.Isnur menilai, masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE ini tentu menjadi keprihatinan publik. Sebab, ketentuan yang ada didalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara."Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi," jelasnya.YLBHI mencermati bahwa masih terdapat pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal tersebut diantaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan.Sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran Hak Kebebasan Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat.Di antaranya kasus-kasus tersebut adalah Pemutusan Ilegal oleh Kemenkominfo terhadap akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktifis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua."Dari seluruh kasus tersebut kami menilai UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis," tandas Isnur.