KBRT - Penelitian terbaru Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bersama Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SEIJ) menemukan bahwa udara di berbagai kota Indonesia telah tercemar partikel mikroplastik, sebagian besar berasal dari pembakaran terbuka sampah plastik dan rumah tangga.
Riset yang dilakukan Mei hingga Juli 2025 di 18 kota dan kabupaten itu menunjukkan Jakarta Pusat memiliki tingkat kontaminasi tertinggi, mencapai 37 partikel mikroplastik dalam dua jam per 90 sentimeter persegi udara, disusul Jakarta Selatan (30), Bandung (16), Semarang (13), dan Kupang (13). Meski begitu, peneliti menegaskan, fenomena udara berisi mikroplastik bukan hanya persoalan kota besar, melainkan potret pola hidup masyarakat di banyak daerah Indonesia.
“Sebanyak 57 persen masyarakat masih membakar sampah plastik secara terbuka. Kebiasaan inilah yang menyumbang tingginya kadar partikel mikroplastik di udara kita,” kata Sofi Azilan Aini, Koordinator Relawan Riset Mikroplastik Ecoton. Ia menambahkan, partikel mikroplastik yang dihasilkan dari pembakaran bisa bertahan di udara, terbawa angin, bahkan turun bersama hujan.
Hasil riset juga menunjukkan jenis mikroplastik yang ditemukan berupa fragmen (53,26 persen) dan fiber atau serat sintetis (46,14 persen), berasal dari pakaian, ban kendaraan, dan plastik sekali pakai. Polimer yang terdeteksi di udara antara lain poliester, nilon, polietilena, polipropilen, polibutadien, PTFE, dan epoxy.

“Tingginya mikroplastik di udara berhubungan langsung dengan kandungan mikroplastik dalam air hujan, karena air hujan menyerap partikel dari atmosfer,” ujar Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton. Fenomena ini menjelaskan munculnya istilah hujan mikroplastik yang kini terdeteksi di sejumlah kota besar, termasuk Jakarta.
Peneliti menilai, mikroplastik berukuran kurang dari lima milimeter ini berbahaya, karena mudah mengikat zat beracun seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya lain. “Mikroplastik bisa menjadi hingga 106 kali lebih beracun dibanding logam berat tunggal, sebab membawa campuran berbagai polutan sekaligus,” kata Rafika.
Ecoton dan SEIJ menggunakan metode deposisi pasif dengan analisis mikroskopik dan spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR) untuk mengidentifikasi partikel di udara. Pengambilan sampel dilakukan di area berpenduduk dan berkegiatan padat seperti pasar, jalan utama, dan kawasan industri.
Melalui hasil penelitian ini, Ecoton mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pemerintah daerah agar melarang pembakaran sampah terbuka, memperkuat sistem pemilahan dari sumber, dan memantau kadar mikroplastik di udara dan air hujan secara berkala.
Langkah-langkah itu, menurut Ecoton, menjadi dasar penting untuk melindungi kesehatan masyarakat sekaligus memperbaiki sistem pengelolaan sampah yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan — termasuk di daerah-daerah seperti Trenggalek, di mana praktik membakar sampah rumah tangga masih jamak dilakukan.
Kabar Trenggalek - Lingkungan
Editor:Tri









