Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
Fighter 2024

Terkait Penggusuran Kantor PKBI, KPA Kecam Kemenkes dan Pemkot Jaksel

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengeluarkan pernyataan sikap: mengecam keras tindakan Kementerian Kesehatan serta Pemerintah Kota Jakarta Selatan yang mengusir dan menghancurkan Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Hang Jebat, Jakarta, Rabu, 10 Juli 2024.“Kami menilai tindakan yang dilakukan bersama 100 personel aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP ini merupakan bentuk penggusuran secara paksa,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA.Dewi Kartika mengatakan,  tanah dan bangunan yang dihancurkan tersebut telah ditempati PKBI selama 55 tahun. Tanah itu, lanjut dia, merupakan hibah dari Gubernur DKI Ali Sadikin sejak tahun 1970.“Sehingga PKBI menempati tanah dan bangunan tersebut secara sah berdasarkan SK Gubernur DKI No.Ad.7/2/34/70,” tambahnya.Menurut Dewi, sejak berdiri pada 1957, PKBI merupakan lembaga sosial yang memiliki sejarah panjang dalam kerja-kerja sosial bagi masyarakat. PKBI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang menggagas gerakan Keluarga Berencana (KB).Saat ini PKBI telah terbentuk di 25 provinsi dan 178 kabupaten/kota, dimana kantor pusat mereka berada di Hang Jebat III/F3 Jakarta Selatan. Tanah dan bangunan yang digusur merupakan kantor dan pusat pelatihan (training centre) PKBI.Tempat ini pula yang menjadi saksi sejarah bagaimana PKBI bekerja secara aktif dalam mewujudkan hak-hak kesehatan keluarga Indonesia. PKBI juga turut serta membidani Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).Kegiatan dan Layanan Kesehatan Seksual Reproduksi (KSR) terutama untuk perempuan dan anak, merupakan hak dasar bangsa Indonesia menuju keluarga bertanggung jawab dan inklusif.“Kenyataan ini merupakan sebuah ironi, sebab Kemenkes dan Pemkot Jaksel seperti meniadakan usaha dan kontribusi PKBI melalui kerja-kerja sosial mereka. Apalagi penggusuran ini tidak dilakukan melalui proses pertanggungjawaban hukum yang memadai dan berkeadilan. Sebab, putusan hukum di Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung terhadap lahan PKBI Hang Jebat adalah non-executable,” ujar DewiMenurut Dewi, Pergub 207/2016 yang menjadi landasan hukum Pemkot Jaksel dan Kemenkes dalam mengusir dan menghancurkan kantor PKBI melangkahi kekuasaan kehakiman, karena merupakan bentuk main hakim sendiri oleh pihak Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Artinya, penerapan Pergub DKI 207/2016 ini justru menyebabkan tumpang tindih permasalahan karena telah mencampuradukkan dua permasalahan yang berbeda antara praktik penyerobotan tanah (unsur pidana: secara paksa dan sengaja) dengan penguasaan tanah dengan itikad baik.“KPA bersama organisasi masyarakat sipil di Jakarta sejak lama telah meminta Pemerintah mencabut Pergub ini. Sebab Pergub tersebut rawan dimanfaatkan untuk melegitimasi proses penggusuran paksa atas nama penertiban dan pembangunan,” katanya.Dalam catatan kami, Pemda DKI seringkali menggunakan Pergub tersebut untuk membenarkan tindakan mereka dalam menggusur masyarakat dari tanah mereka. Seperti kasus penggusuran di Pancoran Buntu II, Gang Lengkong Cilincing, Kapuk Poglar, Kebun Sayur, Tanah Merah dan masih banyak lagi.“Bisa dibayangkan, organisasi dan lembaga seperti KPBI yang telah mempunyai legalitas saja bisa digusur, apalagi masyarakat miskin perkotaan yang selama ini selalu dipersulit dalam mengurus kepastian hukum atas tanah mereka,” tutur Dewi.KPA melihat bahwa negara kerap melakukan pembiaran terhadap tindakan aparat keamanan yang mengeluarkan paksa barang-barang penting korban seperti yang dialami PKBI. Tindakan pembiaran tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap mandat konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 yang yang menyatakan bahwa fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.Selain itu, Dewi menilai Kementerian ATR/BPN lamban dan terkesan tidak serius dalam menangani permasalahan ini, padahal Kementerian ATR/BPN merupakan salah satu manifestasi kehadiran negara dalam pemenuhan Hak atas Tanah dan perlindungan masyarakat dari upaya perampasan tanah“Hal ini dilihat dari proses yang berlarut atas upaya PKBI yang sempat mengurus kepemilikan SHM ke BPN pada tahun 1996. Namun, prosesnya ditolak dengan alasan telah lebih dulu diproses oleh Kemenkes,” paparnya.Peristiwa ini telah menambah deretan panjang kasus konflik agraria di Indonesia, terutama penyelesaian konflik agraria di Jakarta yang seringkali menggunakan Pergub DKI DKI 2017/2016 tersebut.Karena itu, Dewi menegaskan, KPA mendesak Menteri ATR/BPN RI untuk segera melakuka peninjauan ulang Hak Pakai Kementerian Kesehatan RI dan segera memberikan hak atas tanah kepada PKBI selaku pihak yang menguasai lahan melalui SK Gubernur DKI No.Ad.7/2/34/70 sejak tahun 1970;“Kami juga mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 207 Tahun 2016, yang melegitimasi penggusuran paksa dengan menggunakan kekerasan dari aparat,” tegasnya.