Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Mengintip di Balik Layar 'Melodi Dalam Gulita', Film Kisah Hidup Sepasang Disabilitas Trenggalek 

Kubah Migunani

Pembuatan film dokumenter berbeda dengan pembuatan film genre lain. Dalam film dokumenter, seorang film maker atau pembuat film terlebih dahulu harus kenal dengan subjek yang akan didokumentasikan.

Film maker harus memahami bagaimana kebiasaan si subjek, apa rutinitas yang dijalani, bagaimana cara si subjek berinteraksi sosial, dan lain-lain. Tak ayal, selama proses pembuatan film dokumenter, film maker mendapatkan pengalaman berharga sekaligus unik.

Seperti Yanu Andi Prasetyo, seorang film maker asal Trenggalek, tepatnya dari Desa Widoro, Kecamatan Gandusari. Yanu baru saja menyelesaikan film dokumenternya yang berjudul 'Melodi Dalam Gulita'. Sebuah film yang lolos seleksi dalam program Lensa Kreatif. Yang diselenggarakan oleh kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Pada film 'Melodo Dalam Gulita' Yanu, menjadi produser. Ia menggarap film bersama teman-temannya. Ada Zenith Bahariana (Line Produser), Nurhadi (Penata Gambar), dan Daiva Hendar (Perekam Audio). Kemudian, Tommy Gustiansyah (Editor) Achmad Lutfi Prasetya (Mixing Scoring), Eka Wulandari dan Robert Stitsonz (Subtitle), serta Zayinul Muhajibin (Ilustrator poster).

Dalam film tersebut, Yanu dan teman-temannya mengangkat sepasang kekasih penyandang disabilitas yang tinggal di Perumahan Inklusif Desa Prambon, Kecamatan Tugu. Mereka bernama Mustofa dan Kusnul Marlina Sari.

[caption id="attachment_27111" align=alignnone width=1000] Pengambilan video di Pasar Pon Trenggalek/Foto: Dokumen Yanu[/caption]

Saat ditemui di kediamannya, Yanu bercerita tentang film 'Melodi Dalam Gulita' dan pengalamannya selama pembuatan film. Dalam film tersebut, Yanu mengangkat kawasan inklusif yang berada di Desa Prambon. Dengan sudut pandang salah satu keluarga yang tinggal di kawasan inklusif, yakni Mustofa dan Sari.

Penyandang disabilitas sering mendapat penilaian oleh beberapa masyarakat sebagai orang lemah, tidak berdaya, dan kurang mampu bekerja.

Namun, penilaian beberapa masyarakat itu dibantah Yanu melalui filmnya. Dalam film tersebut, Yanu mengangkat keseharian Mustofa dan Sari. Mereka merupakan penyandang tuna netra yang bisa hidup mandiri dan berbaur dengan masyarakat lainnya.

Dalam kesehariannya, Mustofa sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai tukang pijat dan penyanyi. Sementara, Sari sebagai ibu rumah tangga sekaligus seorang penyanyi.

"Aku mengangkat bagaimana romansa mereka, keseharian mereka. Kemudian kemandiriannya hidup sendiri dan memiliki rumah sendiri. Selain itu mereka juga menciptakan lagu dan ingin lagunya dikenal orang lain," ungkap Yanu.

[caption id="attachment_27114" align=alignnone width=1280] Mustofa (kanan) dan Sari (tengah) membaca dokumen film/Foto: Dokumen Yanu[/caption]

Dengan keterbatasan yang ada, Mustofa dan Sari mengandalkan pekerjaannya untuk membayar angsuran rumah yang mereka tinggali di kawasan inklusif setiap bulannya. Jadi, mereka secara ekonomi bisa mandiri seperti orang pada umumnya.

Dalam kawasan inklusif ini, lanjut Yanu, orang yang menyandang disabilitas dan orang normal lainnya melebur jadi satu. Sebagaimana kelompok masyarakat lainnya. Mereka saling bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain tanpa adanya batasan.

Padahal, biasanya, orang normal ketika bersosialisasi dengan penyandang disabilitas memiliki batasan. Batasan tersebut datang dari orang normal yang menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok lemah yang kurang berdaya.

"Yang menarik itu, di kawasan inklusif penyandang disabilitas dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan," ujar Yanu.

Yanu melihat, penyandang disabilitas di kawasan inklusif tidak ingin dikasihani. Mereka hanya ingin keberadaanya diakui oleh masyarakat dan mendapatkan ruang apresiasi atas kemampuan yang dimiliki.

"Mereka tidak senang jika dijadikan objek. Tidak dilibatkan [bermasyarakat], tidak diajak komunikasi dulu. 'aku punya potensi begini, ya, libatkan'. Bukan terus tiba-tiba iba diberi belas asih," ungkap mantan alumni ISI Surakarta jurusan Film dan Televisi tersebut.

Datang Sebagai Kawan

[caption id="attachment_27112" align=alignnone width=1280] Yanu (tengah) berdiskusi dengan tim pembuat film/Foto: Dokumen Yanu[/caption]

Selama ini, dalam sektor ekonomi kreatif masih jarang yang mengangkat tema disabilitas.

Melihat apa yang diresahkan oleh kaum disabilitas, Yanu datang sebagai kawan dan bukan seorang pembuat film yang mengeksploitasi mereka. Ia memosisikan diri seperti penyambung lidah. Apa yang diresahkan oleh mereka disuarakan lewat film.

"Dengan melalui film ini, suara [keresahan] teman-teman disabilitas semakin didengar. Bukan mengeksploitasi mereka sebagai objek, tapi memperlakukan mereka sebagai subjek," ujar Yanu.

Selama pembuatan filmnya, Yanu mengaku tak banyak mengatur bagaimana film ini jadinya. Ia bahkan membiarkan mengalir begitu saja selama proses pembuatan film. Alhasil, prosesnya memakan waktu tiga bulan dan selesai pada bulan desember 2022 lalu.

"Aku memikirkan bagaimana agar filmku ini bukan eksploitasi. Bagaimana pendekatan memperlakukan teman-teman disabilitas sebagai subjek bukan objek. Aku jadi terus berkomunikasi. 'Oh, ini boleh aku tayangkan gak? Apa yang menjadi keresahanmu?'. Bukan terus tiba-tiba aku mengeksploitasi mereka," terang Yanu.

Yanu sudah kenal dengan Mustofa dan Sari sudah cukup lama, sekitar dua/tiga tahun yang lalu. Sehingga Yanu mempunyai kedekatan yang baik dengan mereka.

"Aku bisa mengambil merekam tanpa batasan dengan mereka," kata Yanu.

Yanu mempunyai proyeksi di 2023 ini, untuk membuat film lagi tentang disabilitas. Dengan melibatkan secara langsung kaum disabilitas dalam pembuatan film. Sementara, Yanu hanya sebagai fasilitator saja.

Yang Jarang Diketahui dari Kaum Disabilitas

[caption id="attachment_27113" align=alignnone width=1280] Pengambilan video film Melodi Dalam Gulita/Foto: Dokumen Yanu[/caption]

Selama pembuatan film 'Melodi Dalam Gulita', Yanu melihat kebersamaan di antara mereka. Kebersamaan untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain.

Mereka sudah merdeka dengan kondisi yang ada dan menerima diri sendiri. Yang pada akhirnya merdeka dari kekurangan yang ada.

Namun, sebelum mengenal dengan dekat, Yanu mengaku dirinya masih ada batasan waktu awal-awal berkenalan dengan penyandang disabilitas.

"Aku mau ngomong harus tak pikir, menyakiti perasaan mereka apa tidak. Namun, seiring berjalannya waktu, aku akhirnya salut," ucap Yanu.

Hingga Yanu menemukan suatu sisi yang jarang diketahui oleh masyarakat pada umumnya tentang penyandang disabilitas. Yakni, mereka saling becanda tentang kekurangan sesama penyandang disabilitas. Bisa dikatakan, ini merupakan candaan gelap atau biasa disebut dark jokes. Jadi, mereka sudah tidak tersinggung.

Pernah suatu waktu saat Yanu mengambil scene, tiba-tiba mati lampu. Kemudian, Sari mengatakan kepada Mustofa jika mati lampu dan jawaban Mustofa yang tuna netra adalah 'aku sudah mati lampu sejak lahir'.

"Terus ada lagi, waktu proses mewarnai batik ada teman-teman tunanetra yang ikut membantu. Katanya, warnanya gelap semua," cerita Yanu.

"Ada yang, mohon maaf, tidak punya kaki baru beli celana pamer. Dijawab temannya, 'ndak punya kaki beli celana baru, paling hanya kok pakai keset'. Dan mereka tertawa," lanjut Yanu.

Sisi seperti ini yang hampir tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Mereka bisa bercanda seperti itu karena sudah merdeka dengan kekurangan yang ada. Serta, mereka sudah menerima itu semua. Sehingga bisa bercanda lepas tanpa suatu batasan.

Untuk saat ini, Yanu belum mendistribusikan filmnya. Masih menunggu panggilan dari penyelenggara Lensa Kreatif. Namun, jika ada warga masyarakat, mahasiswa, dan komunitas-komunitas lain yang ingin nonton bersama dan membuat diskusi film bisa menghubungi Yanu. Yanu bisa dihubungi lewat akun Instagramnya.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.