Garapan Anak Muda Trenggalek, Film Stroke Menyibak Realitas Toxic Masculinity
Pemutaran film Stroke dalam agenda Srawung Sinema Layar Bawah Bukit, Sabtu (30/12/2023) lalu, membuka ruang diskursus baru. Meski memilik premis sederhana, naskah film garapan anak muda Trenggalek, Puput Sinwan, ini memiliki pesan mendalam. Melalui sajian visual yang ciamik, film ini berhasil menyibak realitas toxic masculinity yang kerap muncul di masyarakat.Toxic masculinity adalah istilah yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. Dalam film Stroke, kondisi ini tergambar pada masa pandemi, seorang Ayah yang terserang stroke merasa semakin tidak berguna di hadapan anggota keluarganya. Suasana tidak nyaman di rumah semakin meruncing ketika seorang pria yang merupakan kawan lama dari sang istri tiba-tiba datang dan membantu membetulkan sebuah pompa air yang rusak.“Ide stroke muncul karena saya dan sutradara punya gambaran bapak dengan kondisi yang sama. Tapi di sini yang diangkat bukan dari sudut pandang kita sebagai anak, tetapi dari sudut pandang bapak yang justru jarang atau bahkan tidak dipahami oleh kita sebagai anak,” terang Puput.Ia menjelaskan bahwa kondisi sosok bapak saat mengalami kondisi sakit juga mengalami krisis identitas dan krisis mental yang membuat diri mereka jadi kehilangan kemampuan untuk tetap menjadi diri mereka sebagaimana mestinya seorang suami, bapak, dan pria yang seharusnya melindungi keluarga.“Dengan kita melihat sudut pandang ini, mungkin kita akan lebih menyadari dan memahami dibandingkan harus menuntut dan marah kepada mereka,” kata perempuan kelahiran Trenggalek itu.Dalam proses pengerjaannya, film stroke sempat mengalami beberapa kesulitan seperti kendala teknis, keterbatasan budget, dan beberapa faktor lain.“Sempat saat syuting, tiba-tiba pemilik rumah yang digunakan sebagai basecamp syuting meninggal dunia, padahal beliaunya sempat membantu riset untuk film,” tutur Puput.Sebagai kawula muda Trenggalek, Puput juga melihat adanya potensi berkembangnya perfilman di kalangan anak muda Trenggalek. Termasuk adanya ekstrakulikuler perfilman, kompetisi, dan beberapa kegiatan di luar sekolah untuk bersenang-senang.“Tapi mungkin belum ada awareness anak-anak muda di sini untuk berkarir di dunia perfilman masih jauh. Karena notabene bioskop kita aja terbilang baru, jadi minatnya masih sampai sekadar minat belum tahu cara menyalurkan lebih jauh,” ungkap Puput.Puput merasa minat terhadap dunia perfilman bisa dimulai dari banyaknya suguhan tontonan yang bisa menambah referensi anak-anak muda. Hal ini bisa membangkitkan rasa penasaran dan mulai menghidupkan perfilman lokal. Bahkan bisa menyadari bahwa film tidak berhenti hanya sebagai tontonan, tapi bisa merambah ke bisnis.“Semoga film-film itu bisa bertemu dengan penonton-penontonnya secara luas dan bisa berbagi perasaan yang sama atas film tersebut,” tukasnya.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow