Kali ini KPU Trenggalek dapat bernafas lega lantaran politik uang disinyalir tidak lagi menjadi hambatan pada Pilkada Serentak yang berlangsung pada 27 November 2024 nanti.
Politik uang seringkali menjadi pembahasan dalam sosialisasi yang getol dilakukan oleh KPU Trenggalek melalui Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM dari masa ke masa pemilihan. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya melibatkan jajaran komisioner KPU Trenggalek saja tetapi juga panitia Adhoc di bawahnya seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berbasis di desa, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Musnahnya politik uang pada Pilkada 2024 tentu menjadi momen yang patut disyukuri, mengingat praktik ini sudah mendarah daging dan membentuk mental masyarakat “nomer piro wani piro”.
Keberhasilan KPU Trenggalek dalam memupus praktik ini terjadi ketika Ipin-Syah diputuskan sebagai calon satu-satunya yang berhasil mendaftar sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek dengan rekomendasi dari delapan partai politik dan nyaris tanpa oposisi.
Keputusan ini menjadikan Ipin-Syah secara resmi melawan kotak kosong pada Pilkada Serentak tahun 2024 mendatang. Keberhasilan Ipin-Syah maju dalam politik petahana tanpa lawan menjadikan satu momok bernama politik uang di masyarakat lenyap begitu saja.
Kemunculan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah tidak hanya terjadi pada Pilkada Serentak 2024 saja, tetapi juga tahun 2015 ada 3 calon tunggal, 2017 ada 9 calon tunggal, 2018 ada 16 calon tunggal, dan 2020 ada 25 daerah dengan calon tunggal.
Perbedaan dengan Pilkada tahun 2024 ini adalah pelaksanaan pilkada yang dilakukan secara bergelombang. Sedangkan pada tahun 2024 ini dilaksanakan secara serentak. Sehingga angka fenomena calon tunggal pada Pilkada menunjukkan angka yang fantastis.
Peraturan pemilihan yang mengatur adanya calon tunggal tersebut terdapat pada putusan MK yang memberikan alternatif kotak kosong berdasarkan fenomena kemunculan calon tunggal pertama kali pada tahun 2015.
Fenomena kotak kosong bisa terjadi ketika hanya ada pasangan calon (paslon) tunggal dalam sebuah pemilihan yang membuat pemilih memiliki opsi untuk memilih kotak kosong atau pasangan calon tersebut.
Pada catatan sejarah, pemilu kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada tahun 2015, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Pilkada tetap dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon. Putusan MK tersebut juga memberikan alternatif kotak kosong sebagai pilihan dan terus terjadi pada pemilihan-pemilihan di tahun setelahnya di beberapa daerah.
Trenggalek tidak menjadi satu-satunya daerah yang menyelenggarakan pemilu kotak kosong, ada 41 daerah yang juga tidak menutup kemungkinan adanya pemilih yang akan memilih kotak kosong dan berpotensi memenangkan Pilkada.
Ke-41 daerah tersebut meliputi Provinsi Papua Barat, Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Badagai, Labuhanbatu Utara, Nias Barat, Dharmasraya, Batanghari, Ogan Ilir, Emoat Lawang, Bengkulu Utara, Lampung Barat, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat, Bangka, Bangka Selatan, Bintan, Ciamis, Banyumas, Sukoharjo, Brebes, Ngawi, Benkayang, Tanah Bumbu, Balangan, Malinau, Maros, Muna Barat, Pasangkayu, Manokwari, Kaimana, Gresik, Trenggalek, Pangkal Pinang, Pasuruan, Surabaya, dan Tarakan.
Jika perolehan suara kotak kosong melebihi lima puluh persen dari total pemilih, wilayah tersebut akan mengalami kekosongan kepemimpinan dan pemerintah akan menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah untuk memimpin sementara wilayah sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil Pikada. Pilkada berikutnya akan diulang kembali pada tahun berikutnya dan dilaksanakan sesuai dengan jadwal. Hal ini sesuai dengan Pasal 54D UU Nomor 10 tahun 2016.
Meskipun begitu masyarakat tetap bisa berperan aktif dalam proses pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara mengingat status dari kotak kosong ini setara dengan calon tunggal. Kesetaraan kontestasi ini perlu diatur dalam regulasi kampanye kotak kosong yang menjadi prinsip dalam pemilihan.
Fenomena politik ini tidak hanya memaksa masyarakat berperan aktif sebagai relawan kotak kosong tapi juga penegakkan kembali memilih sesuai hati nurani sebagai wujud pesta demokrasi yang sebenarnya tanpa embel-embel politik uang.
Masyarakat dengan sukarela datang ke TPS untuk memilih dengan kesadaran baru yaitu memilih kotak kosong yang nantinya jika kotak kosong memenangkan Pilkada maka daerah tersebut akan dipimpin oleh Pj selama satu tahun dan akan melaksanakan pemilihan ulang atau memilih calon tunggal yang ada maka wilayah tersebut akan dipimpin oleh calon yang ada selama periode berlangsung.
Tidak menutup kemungkinan calon tunggal maupun kotak kosong memiliki pendukung yang seimbang dalam kontestasi politik. Sebab itu, pemilih pada Pilkada tahun 2024 ini memiliki kewajiban yang harus ditegakkan yaitu datang ke TPS tanpa politik uang.
Editor:Danu Sukendro