Akhir-akhir ini internet ramai dengan perbincangan childfree atau dalam bahasa Indonesia artinya “bebas anak”. Melansir dari Fertilitysmarts, childfree adalah istilah yang mengacu pada orang dewasa yang tidak memiliki anak, baik secara biologis, adopsi, atau lainnya.
Selain digunakan sebagai gambaran orang telah memilih untuk tidak memiliki anak, istilah childfree juga dipakai untuk penggambaran orang-orang yang tidak bisa memiliki anak.
Bahkan, pandangan childfree juga sudah terbawa arus globalisasi ke Indonesia. Pandangan ini masuk ke Indonesia bukan tanpa alasan, karena pandangan hidup tanpa anak ini berkembang seiring kemajuan zaman dan kebebasan wanita dalam memilih bagaimana arah hidupnya. Ulasan singkat mengenai sejarah Childfree dan kondisi di masyarakat Indonesia.
Pandangan seperti childfree ini di Indonesia bisa dikatakan cukup menantang dengan tradisi dan budaya yang melekat di masyarakat. Bisa dipastikan akan mendapatkan pro-kontra, dan kemungkinan besar akan banyak yang kontra.
Sebelumnya, ada istilah lain yang disamakan dengan childfree, yakni childness. Kebanyakan orang-orang menganggap sama dua istilah tersebut, padahal berbeda sama sekali. Childness memiliki makna orang tua yang tidak memiliki anak karena mereka belum mampu secara biologis.
Sejarah Childfree
Berdasarkan kamus Merriam-Webster, kata Childfree sendiri pertama kali muncul pada tahun 1901. Kemudian pandangan ini begitu populer semenjak ada artikel di Psychology Today yang ditulis Ellen Walker Ph.D. Dalam artikel tersebut, Walker menjelaskan mengapa pilihan hidup orang dewasa untuk tidak memiliki anak setidaknya ada empat alasan.
Alasan yang pertama, karena kesadaran akan dampak lingkungan dari kelebihan populasi umat manusia. Kedua, ada sebuah keyakinan bahwa anak-anak akan menghambat karir dan pekerjaan. Sebagai contoh seorang wanita yang punya potensi besar dalam sebuah perusahan harus resign demi merawat anaknya.
Yang ketiga, ada alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan hidup yakni mengasuh. Seperti mengasuh hewan peliharaan, bahkan beberapa orang memiliki kedekatan secara emosional dengan hewan peliharaannya sendiri.
Lalu keempat, orang-orang memiliki kesadaran dampak negatif dengan memiliki anak dari pernikahannya. Setidaknya, dalam sebuah penelitian di Inggris, pasangan yang tidak memiliki anak dari pernikahannya cenderung lebih puas dari pada pasangan yang memiliki anak.
Dalam catatan Wangshinton Post, pada abad 21, akan ada jutaan wanita di dunia yang berada diusia 45 tahun untuk hidup tanpa melahirkan anak.
Beberapa wanita mengalami kemandulan, lainnya tidak memilih tidak mempunyai anak di awal kehidupan, dan sebagiannya lagi masih memperdebatkan apakah akan memiliki anak atau tidak.
Memilih tidak memiliki anak di era modern ini merupakan bukan sebuah hal yang baru. Karena di era modern sudah banyak pil (seperti pil KB), adanya gelombang pergerakan feminisme, dan seperti akibat adanya perang yang berpengaruh pada kemerosotan ekonomi.
Sejatinya, hidup tanpa anak sudah eksis terlebih dahulu berabad-abad lalu di daratan Amerika Serikat, Eropa bagian barat laut, Kanada, dan Australia.
Kendati demikian, sejarah hidup tanpa anak ada yang mengait-ngaitkan dengan pandangan aliran keagamaan. Seperti yang dilansir dari jurnal "Chapter 18.—Of the Symbol of the Breast, and of the Shameful Mysteries of the Manichæans".
St. Agustine yang merupakan seorang filsuf dan teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat dan filsafat Barat. Yang kemudian memilih untuk hidup dalam aliran keagamaan Maniisme.
Dalam ajaran pandangan tersebut, ia percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral. Karena mereka menganggap bahwa manusia adalah jiwa yang terjebak dalam alam dunia yang tidak sempurna dan melahirkan seorang anak sama saja menjebak seseorang dalam jebakan dunia ini.
Childfree di Indonesia
Di Indonesia, sudah ada wanita yang menulis tentang hidup tanpa anak, ia bernama Victoria Tunggono dengan bukunya yang berjudul “Childfree and Happy”.
Victoria menjelaskan, pilihan seorang untuk hidup tanpa anak sangat sulit diterapkan di Indonesia. Karena tradisi dan kebudayaan yang sudah mengakar di masyarakat menentang adanya childfree, terutama budaya patriarki.
Budaya ini membuat wanita menjadi kelas kedua dalam tatanan masyarakat. Sehingga, menyebabkan diskriminasi dan ketimpangan dalam memilih pilihan hidup-seperti memilih untuk memiliki anak atau tidak. Sehingga, mau tidak mau wanita di Indonesia ditekan untuk menghasilkan keturunan meskipun tidak berkeinginan.
Dalam pengamatan Victoria yang diungkapkan dalam bukunya, sebenanrnya banyak orang tua yang sebenarnya tidak memilih untuk memiliki anak karena pengalaman buruk di masa kecil dengan orang tuanya.
Kendati demikian, sudah banyak artis tanah air yang sudah menerapkan Childfree. Seperti Cinta Laura, Leony Vitria, Rina Nose, Anya Dwinov, dan Gita Savitri.
Yang paling mencolok adalah Gita Savitri, karena influencer yang cukup berpengaruh di kalangan anak muda. Ia baru-baru ini menuai kontroversi karena secara terang-terangan ia dan suaminya Paul Andreas Partoap, memilih tidak memiliki anak dari pernikahannya.
Alasan untuk tidak memiliki anak, salah satunya adalah Gita merasa dirinya belum sanggup untuk memberikan kehidupan yang layak bagi calon anaknya kelak.
Keputusan orang dewasa untuk hidup bebas anak adalah hak mereka dan pastinya mereka memiliki pertimbangannya. Karena terkadang, setiap hal tidak berlaku sama bagi setiap orang. Sesuatu yang dianggap baik belum tentu juga baik bagi orang lain, termasuk keputusan untuk memiliki anak.
Sebagai masyarakat Indonesia dengan tradisi dan budayanya yang sudah mengakar di masyarakat, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi orang dewasa yang ingin hidup bebas anak.
Sudah menjadi pengetahuan umum jika sebuah tradisi dan budaya sering menjadi kontradiksi dan sebaiknya memang tidak mempermasalahkan itu. Sebab, yang seharusnya menjadi fokus adalah bagaimana setiap orang menghormati pendapat dan pilihan hidup masing-masing. Semoga bermanfaat.