KBRT – Ada keteguhan dalam langkah Dipa Prasetyo (22), atlet senam asal Desa Sawahan, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Di usianya yang masih muda, Dipa telah mengantongi puluhan medali dari berbagai kejuaraan, dan satu hal yang belum berubah: mimpi untuk mengangkat derajat keluarganya.
Perkenalannya dengan senam bukan karena ambisi orang tua atau paksaan pelatih. Semua bermula saat Dipa kecil melihat teman sebayanya berlatih senam. Rasa ingin tahu itu mengantarkannya ke jalur yang kini menjadi jalan hidup.
“Dulu saya mengawali senam mulai kelas 1 SD. Kelas 4 saya diambil Ketua Senam Trenggalek, akhirnya dipusatkan di Gresik,” kisah Dipa.
Bayangkan saja, usia masih sembilan tahun, namun ia sudah harus meninggalkan rumah untuk menjalani pelatihan di Pusat Senam Kabupaten Gresik. Di sana, bukan hanya otot dan kelenturan tubuh yang diuji, tetapi juga mental. Ejekan dari teman, rasa rindu orang tua, hingga tekanan dalam latihan menjadi bagian dari hari-harinya.
“Suka dukanya ya waktu pertama kali di Gresik ya diejek, kemudian jauh dari orang tua, kangen orang tua,” tuturnya.
Namun semua itu tak mematahkan semangatnya. Dipa justru menjadikan tekanan itu sebagai bahan bakar untuk terus berlatih lebih keras. Hasilnya mulai terlihat, dari panggung kejuaraan lokal, nasional, hingga internasional, namanya mulai dikenal.
Dari semua medali yang ia raih, satu yang paling membekas adalah emas di Kejuaraan Nasional (Kejurnas). Sementara untuk ajang Porprov, Dipa sudah lima kali bertanding dan membawa pulang empat medali emas untuk Kabupaten Trenggalek.
“Kalau kejuaraan banyak. Khusus Porprov saja sudah 5 kali. Di Porprov sudah dapat 4 kali medali emas,” jelasnya.
Namun di balik gemilang prestasi, Dipa pernah jatuh pada titik terendah. Cedera patah tangan di ajang seleksi Pra PON membuatnya harus berhenti total dari senam selama satu tahun. Bagi seorang atlet senam, itu bukan sekadar masa istirahat, tapi ujian mental besar yang bisa menggugurkan cita-cita.
“Pengalaman paling sedih waktu Pra PON kemarin, itu waktu seleksi terus tangan saya cedera patah. Saya rehat sekitar 1 tahun,” ucapnya dengan nada reflektif.
Kini, Dipa telah kembali ke lintasan prestasi. Ia sudah mengamankan tiket untuk berlaga di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028. Targetnya? Jelas: medali emas. Tapi lebih dari itu, Dipa punya ambisi yang jauh lebih besar.
“Target pribadi yang paling tinggi saya ingin mengangkat derajat keluarga dulu,” ungkapnya mantap.
Ada satu kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan menjelang pertandingan. Dipa selalu menyempatkan diri mendengarkan musik untuk menenangkan pikiran dan meredakan ketegangan. Sebuah ritual kecil yang menjadi penopang dalam menghadapi tekanan kompetisi.
Tak berhenti di PON, Dipa membidik langit lebih tinggi. Ia ingin menjadi atlet internasional yang membawa nama Indonesia di panggung dunia.
“Harapan ke depannya, saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bisa menyelesaikan apa yang saya mulai dan mencapai cita-cita yang saya impikan,” kata Dipa.
Perjalanan Dipa adalah kisah tentang ketekunan, pengorbanan, dan cinta pada keluarga. Dari desa kecil di Trenggalek hingga mimpi membela panji merah putih di kancah internasional, langkahnya menginspirasi kita semua untuk makin tahu Indonesia, bukan hanya dari peta dan angka, tapi dari cerita-cerita seperti milik Dipa Prasetyo.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz