Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Sambitan Layangan di Trenggalek: Saat Tali Senar Menyatukan Generasi

  • 02 Jul 2025 10:00 WIB
  • Google News

    KBRT — Sore hari di awal Juli 2025, langit Trenggalek tak hanya dihiasi awan tipis yang mengambang, tapi juga dipenuhi warna-warni layangan yang saling mengadu di atas persawahan kering sebelah timur Pasar Basah. Sebuah tradisi sederhana bernama sambitan layangan kembali menyatukan lintas generasi: dari anak-anak, remaja, hingga para orang tua yang rindu akan keseruan masa kecil.

    Di tengah derasnya gempuran permainan digital dan layar-layar ponsel yang membius, sambitan hadir seperti napas segar. Ia bukan sekadar permainan, tapi ruang sosial yang membuat orang-orang saling terhubung di dunia nyata.

    “Daripada melihat anak-anak main handphone terus, kasihan. Mereka perlu hiburan yang lain,” kata Dwi (45), warga Dusun Sawahan, Kelurahan Sumbergedong, sambil menenteng tas ransel penuh berisi layang-layang kodokan dan gulungan senar glasan — senar khusus tajam dari serpihan kaca, andalan dalam sambitan.

    Meski usianya tak lagi muda, Dwi masih bersemangat menantang anak-anak dan remaja dalam adu layangan. Di matanya, ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga semangat kebersamaan. Ia menceritakan, sekitar pukul 15.00 WIB anak-anak sudah ramai berkumpul, duduk menanti angin sore dan aksi para ‘senior’. Ketika jarum jam mendekati 16.30, para orang tua mulai berdatangan, membawa layangan andalan dan nostalgia masa kecil.

    “Kalau sudah putus ya begitu, anak-anak langsung rebutan. Kadang sampai duel kecil di sawah yang becek,” ujar Dwi sambil tertawa melihat anak-anak berlarian tanpa baju, berebut layangan yang jatuh.

    Tradisi ini bukan barang baru. Di Trenggalek, komunitas sambitan sudah terbentuk sejak lima tahun lalu. Mereka tergabung dalam grup WhatsApp, berisi lebih dari 50 orang, mayoritas bapak-bapak pecinta layangan. Anak-anak biasanya belum tergabung, tapi mereka hadir setiap sore sebagai saksi sekaligus penerus semangat sambitan.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Yayang Dipo Prayogo (24), pemuda asal Sumbergedong, menjadi jembatan antara generasi muda dan tua dalam komunitas ini. Ia telah bermain layangan sejak kecil, dan kini rutin menemani anak-anak serta sesama pecinta sambitan setiap musim kemarau.

    “Daripada anak-anak main HP terus, mending begini. Mereka jadi kotor, tapi juga bahagia,” ujarnya, sambil mengikat simpul layangan miliknya yang akan diterbangkan sore itu.

    Yayang menjelaskan, jika para orang tua ikut bermain, suasana menjadi jauh lebih meriah. Namun, tidak semua bisa hadir setiap hari karena alasan pekerjaan. Hanya di akhir pekan atau saat ada lomba sambitan, mereka bisa berkumpul ramai-ramai.

    Tak ada batasan usia atau kasta di udara. Begitu layangan terbang, semua adalah sahabat. Ketika satu layangan kalah dan putus, anak-anak akan berebut, tertawa, dan saling menggoda. Meski begitu, aturan tidak tertulis tetap berlaku: senar glasan si pemilik harus dikembalikan karena harganya mahal.

    “Kalau ditotal ya bisa habis Rp300 ribu lebih untuk beli perlengkapan. Tapi karena hobi, belinya dicicil. Jadi enggak terasa,” tambah Yayang.

    Tradisi sambitan layangan ini tak hanya menjaga semangat bermain di luar ruang, tetapi juga menjadi ruang edukatif bagi anak-anak untuk belajar nilai sportivitas, solidaritas, dan kearifan lokal. Dalam geliat sore itu, Trenggalek memberi contoh bagaimana sebuah tradisi bisa menjadi jembatan antar generasi, yang membuat kita semua makin tahu Indonesia dari hal-hal sederhana yang membahagiakan.

    Kabar Trenggalek - Sosial

    Editor:Zamz

    ADVERTISEMENT
    BPR Jwalita