KBRT – Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan 13 pulau di kawasan Teluk Prigi berada dalam kuasa Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kembali mendapat sorotan. Kali ini, kritik datang dari nelayan asal Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, yang merasa terdampak secara langsung.
Nur Kawit, salah satu nelayan senior di Prigi, mengungkapkan kekecewaannya. Ia menilai bahwa kawasan 13 pulau tersebut memiliki posisi yang sangat vital bagi nelayan dalam mencari ikan.
“Itu tempat strategis mencari ikan karena dekat pulau pasti tempat gerombolan ikan. Memang di situ sentral dari ikan karena daerah itu seperti laut, kalau tidak ada pulaunya ikannya itu hanya ikan migran,” ujar Nur Kawit.
Ia menjelaskan bahwa gugusan pulau yang kini disengketakan merupakan jalur lalu lintas utama nelayan dari Teluk Prigi saat berangkat maupun kembali dari melaut. Jika wilayah itu tak lagi menjadi bagian dari Trenggalek, ia khawatir akan muncul kebijakan baru yang berpotensi merugikan.
“Siapa tahu dengan klaim sepihak itu terus nanti bikin aturan baru, yang jelas nanti merugikan kita sebagai nelayan,” tambahnya.
Nur Kawit juga mencurigai adanya motif tertentu di balik klaim sepihak tersebut. Ia menilai, sulit mempercayai bahwa keputusan tersebut dibuat tanpa kepentingan tertentu.
“Tidak mungkin mengklaim suatu wilayah jika tidak ada tujuannya,” tegasnya.
Menurutnya, aktivitas nelayan dan sejarah budaya di kawasan 13 pulau lebih lekat dengan masyarakat Trenggalek, khususnya nelayan Prigi. Ia menyebut, nelayan Tulungagung tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kawasan itu, baik dari sisi ekonomi maupun budaya.
“Aneh kalau menurut saya kalau Keputusan Kemendagri masuk Tulungagung, dari sejarah itu ya sejarah yang mana kalau klaim,” tandasnya.
Sebagai bagian dari tradisi, Nur Kawit menuturkan bahwa setiap tahun saat digelar Upacara Adat Labuh Laut Larung Sembonyo, kawasan 13 pulau itu menjadi bagian dari ritual masyarakat Karanggandu, Trenggalek.
“Aktivitas nelayan kita banyak di situ, pasalnya nelayan Popoh operasi di situ jarang-jarang,” ujarnya lagi.
Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah tidak hanya melihat batas administratif secara teknis, melainkan juga mempertimbangkan aspek historis, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan kawasan tersebut.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz