KBRT – Petani di Desa Bendorejo, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, bertahun-tahun menghadapi krisis air karena rusaknya saluran irigasi Rowo Pucung. Meski debit air dari Sungai Dam Widoro melimpah, aliran tersebut tidak pernah sampai ke ujung irigasi yang membentang sejauh lebih dari satu kilometer.
Darmaji (66), petani setempat, mengungkapkan bahwa bagian akhir saluran irigasi tidak lagi berfungsi. Air yang semestinya mengaliri sawah di Bendorejo justru tumpah keluar karena desain saluran yang mengecil dan rusak.
“Sudah puluhan tahun tidak pernah dapat air dari irigasi, sering di Sukorame bisa tanam padi, di sini kami tidak bisa karena tidak ada air,” kata Darmaji, yang terpaksa menyiram sawahnya dengan pompa diesel.
Pada musim tanam kedua 2025, Darmaji sempat mencoba menanam jagung. Namun hujan lebat membuat tanaman rusak. Ia pun mengganti dengan padi, berharap hujan tetap turun.
Kenyataannya berbeda. Cuaca tak menentu menyebabkan tanah sawahnya mengering dan retak. Ia terpaksa menggunakan mesin diesel untuk menyiram tanaman.
“Irigasi dibangun oleh pemerintah desa puluhan tahun lalu. Sempat ada diesel besar dari program, tapi rusak dan tidak berfungsi lama,” ujarnya.
Setiap lima hari sekali, Darmaji harus merogoh kocek sekitar Rp60.000 untuk membeli solar demi menghidupkan diesel. Dalam kondisi ini, hasil panennya jauh dari ideal.
Dari sawah seluas 100 ru, Darmaji hanya mampu memanen sekitar 5 kuintal gabah. Padahal secara normal, ia bisa mendapatkan 8 kuintal.
“Kalau nanam jagung juga bisa lebih sedikit. Sudah harus mupuk tiga kali, harganya juga lebih murah dibanding gabah,” tambahnya.
Kondisi berbeda dirasakan petani di Desa Sukorame. Masih berada dalam aliran irigasi yang sama, petani di wilayah ini masih mendapat pasokan air meskipun dalam musim kemarau.
Kayan (57), petani asal Sukorame, menyebut bahwa dalam kondisi cukup air, ia bisa memanen 1,5 ton padi dari lahan seluas 140 ru. Namun, hama tanaman menyebabkan hasil panennya kini hanya berkisar 1 ton.
“Sekarang dapatnya ya sekitar 1 ton,” katanya.
Meski hasilnya tidak selalu dijual, Kayan kadang melepas panennya untuk kebutuhan ekonomi mendesak. Jika dijual semua, ia bisa mendapatkan sekitar Rp6,5 juta.
“Saluran air di Sukorame ini sudah dibangun puluhan tahun yang lalu. Tapi di tengah-tengah banyak yang rusak. Jadi air dari selatan tidak bisa sampai utara (Bendo),” terang Kayan.
Menurut Kayan, masalah utama terletak pada bentuk saluran yang tidak konsisten. Sebagian titik mengalami penyempitan sehingga air meluber sebelum mencapai wilayah Bendorejo.
“Sedikit air tidak bakalan sampai. Banyak pun malah tumpah ke luar saluran,” ujarnya.
Ia menyarankan agar saluran irigasi dibongkar ulang dan diperlebar agar aliran air dari hulu hingga hilir bisa merata.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz