KBRT - Festival Jaranan Trenggalek Terbuka (FJTT) bukan sekadar tontonan. Ajang ini juga menjadi ruang pamer bagi karya dan properti kesenian Jaranan Turonggo Yakso yang dibuat oleh pengrajin maupun sanggar di Trenggalek.
Purnomo (39), pengrajin asal Desa Prambon, Kecamatan Tugu, mengatakan bahwa festival ini menjadi bukti nyata generasi muda ikut berperan dalam melestarikan budaya jaranan.
“Pameran ini sangat menarik karena di Trenggalek pengrajin dan pelaku seni Jaranan sudah banyak dari dulu. Mungkin pameran berikutnya bisa ada tempat khusus untuk menampilkan alat jaranan lawas. Soalnya sekarang banyak anak muda yang hobi koleksi dan menampilkan peralatan jaranan lawas,” ujar Purnomo yang akrab disapa Pak Kezzle.
Sejak 2013, Purnomo memilih fokus menekuni kerajinan peralatan jaranan. Karyanya yang tersimpan di galeri Kucur Tanjung kini telah menembus pasar luar negeri. Beberapa barongan buatannya bahkan dipamerkan dalam FJTT sebagai bukti kesenian asli Trenggalek bisa go internasional.
Saga Tanjung Ilham, koordinator pameran FJTT, menjelaskan salah satu bagian pameran menyoroti karya-karya Purnomo. Termasuk barongan pertama yang ia buat, lengkap dengan dokumentasi saat ditampilkan hingga ke luar negeri.
“Dengan momentum yang singkat ini, kami melakukan riset selama 2–3 minggu. Keterangan dari caption yang dipasang kami usahakan sedetail mungkin, mulai dari pembuat, tahun, sampai sanggar-sanggar yang pernah memakainya,” ujar Saga.
Menurut Saga, pameran juga menampilkan karya dengan nilai sejarah, termasuk barongan era 1960–1970. Bahkan ada barongan yang diyakini dibuat pada masa pra kemerdekaan. Namun, artefak itu belum bisa dihadirkan karena pemilik tidak mengizinkan dipindahkan, sehingga panitia hanya menampilkan arsip foto.
Selain pameran, FJTT juga mengadakan diskusi antara pengrajin dan generasi muda. Tujuannya untuk memperkaya pengetahuan tentang seni jaranan serta menjawab tantangan minimnya ruang khusus bagi artefak seni tradisi di Trenggalek.
“Soalnya ini momentum pertama kali pameran seperti ini ada di Trenggalek. Apalagi artefak-artefak itu kan minusnya belum ada museum di sini, karena pembuatan museum butuh SDM yang memadai,” tambah Saga.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz