KBRT - Beberapa waktu terakhir, publik diramaikan oleh polemik keaslian ijazah Presiden. Isu ini memang menyita perhatian, tapi bagi saya pribadi, ini hanya permukaan dari persoalan yang jauh lebih besar: apakah kita masih menganggap wajar bahwa untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, cukup bermodal ijazah SMA?
Pertanyaan ini mengganggu saya bukan karena saya akademisi—melainkan karena saya warga negara. Seorang pemimpin puncak bangsa seharusnya bukan hanya “terpilih”, tapi juga teruji. Bukan sekadar populer, tapi juga memiliki kapasitas memahami tantangan kompleks negara besar bernama Indonesia.
Undang-Undang Pemilu kita (UU No. 7 Tahun 2017) memang masih menyebut bahwa calon presiden cukup memiliki ijazah SMA. Mungkin di masa awal reformasi ini dianggap progresif dan inklusif. Tapi dua dekade berlalu, dunia berubah, Indonesia berubah—dan kita tak boleh terus memakai standar lama untuk urusan sepenting ini.
Presiden Indonesia hari ini memimpin lebih dari 270 juta jiwa, menghadapi tekanan geopolitik, transisi iklim dan energi, krisis pangan global, serta gelombang kecerdasan buatan yang mengubah segalanya. Apakah semua ini bisa didekati hanya dengan bekal SMA dan niat baik? Saya tidak yakin.
Baca Juga: Mikroplastik: Ancaman Tak Kasatmata bagi Masa Depan Indonesia
Beberapa negara memang tidak mewajibkan gelar sarjana untuk presidennya. Tapi lihatlah realitasnya: hampir semua pemimpin dunia modern memiliki pendidikan tinggi, pengalaman kebijakan publik, atau kepemimpinan strategis.
Singapura bahkan lebih maju lagi. Mereka mengharuskan calon presiden pernah memimpin institusi besar, dengan rekam jejak moral dan profesional yang diuji lembaga independen.
Di Indonesia? Cukup ijazah legalisir dan kemampuan tampil di panggung. Bukan salah individu, ini cacat sistem. Tapi kalau dibiarkan, akan terus berulang—dan bisa lebih parah.
Tanpa filter kualitas, sistem politik kita rentan diisi oleh mereka yang sekadar punya modal, bukan kapasitas. Yang penting bisa “menang”, meski tak paham tata kelola negara.
Apa jadinya jika Indonesia dipimpin oleh seseorang yang tak memahami sistem fiskal? Yang tak mampu membedakan antara “indikator ekonomi” dan “insting politik”? Yang mengambil keputusan strategis bukan dari kajian, tapi dari bisikan?
Saya khawatir, bangsa ini bukan gagal karena rakyatnya malas, tapi karena sistemnya terlalu permisif pada kepemimpinan yang tak siap.
Saya mengusulkan: (1) Tingkatkan syarat pendidikan presiden minimal S1, dengan pengecualian hanya jika memiliki rekam jejak luar biasa dalam jabatan publik; (2) Bentuk panel etik dan kompetensi independen, agar tak hanya ijazah yang diverifikasi, tapi juga kapasitas kepemimpinan; (3) Bangun budaya meritokrasi dalam politik, di mana orang berkompetisi dengan gagasan, bukan semata elektabilitas.
Saya sadar, bicara soal ini bisa memantik reaksi. Tapi saya percaya: diam adalah bahaya yang lebih besar.
Sebagai dosen, saya mungkin tak punya kekuasaan. Tapi saya punya pena. Dan selama pena itu masih menulis untuk masa depan bangsa, maka saya tak akan berhenti mengusik standar yang terlalu rendah untuk negara sebesar ini.
Kalau kita ingin Indonesia menjadi kekuatan dunia, maka kita tak bisa lagi membiarkan siapa saja masuk ke ruang tertinggi republik ini tanpa filter.
Naikkan standar kita—sebelum demokrasi kita turun kelas.
Kabar Trenggalek - Opini
Editor:Redaksi