KBRT – Siapa sangka dari sebuah sudut dusun di Trenggalek, kain tenun ikat bermotif cengkeh bisa melanglang buana hingga Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua? Semua itu berkat ketekunan tangan Rohmad Ismail (47), pengrajin tenun asal Dusun Talun, Desa Buluagung, Kecamatan Karangan.
Sudah sejak 2015, Rohmad menekuni usaha tenun ikat yang ia rintis nyaris dari nol. Awalnya hanya seorang diri, kini ia telah dibantu empat karyawan yang menganyam benang demi benang menjadi lembaran kain yang kaya makna.
“Hampir ke seluruh Indonesia sudah terjual tenun khas Trenggalek ini, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua sudah kenal sama motif cengkeh ini,” ungkap Rohmad.
Pria kelahiran Kediri ini membawa keahliannya dari tanah leluhur—dari orang tuanya yang juga pengrajin tenun. Namun yang membuatnya unik, ia memilih untuk memadukan keterampilan tradisional dengan kekayaan lokal Trenggalek.
Motif-motif seperti cengkeh, perahu, hingga gunung ia hadirkan di atas benang warna-warni. Inspirasi itu datang setelah ia mengunjungi sentra batik di Ngentrong, yang tak jauh dari rumahnya. Dari situ ia terpikir, mengapa tak menghadirkan karakter khas Trenggalek dalam produk tenun?
“Selain biar ada ciri khasnya, produk kain tenun ikat jadi bisa menjadi oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke Trenggalek,” tuturnya.
Seiring waktu, pesanan pun datang silih berganti. Meski sempat terseok saat pandemi Covid-19, Rohmad tetap bertahan. Di masa sulit pun, tangannya tak pernah berhenti menenun harapan.
“Kalau sedang sepi ya 3 jutaan omzetnya sebulan, kalau ramai bisa sampai 15 juta lebih,” jelasnya.
Kini, karyawan yang ia rekrut bekerja dari rumah masing-masing. Mereka menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang Rohmad pinjamkan langsung. Dalam dua minggu, satu lembar kain bisa selesai—cukup untuk membuat satu kemeja atau sarung.
Namun, ia mengaku tantangan kini bergeser. Bukan soal pemasaran, tapi regenerasi.
“Anak-anak muda yang saya tawari selalu beralasan menenun itu terlalu sulit. Padahal dengan modal ketlatenan saja sudah bisa saya ajari,” keluhnya.
Harga kain tenun ikat karyanya pun bervariasi. Jika menggunakan benang biasa, satu kemeja bisa dibanderol mulai Rp250.000. Tapi kalau memakai benang sutra, harganya bisa dua kali lipat.
Rohmad kini juga mengandalkan platform digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Tak lupa, ia menjalin kerja sama dengan penjahit lokal agar pelanggan bisa langsung memesan produk dalam bentuk jadi.
Menariknya, tenun Rohmad tak terlalu dipengaruhi oleh momen seperti Lebaran atau Natal. Pelanggannya justru datang dari keluarga yang akan menggelar hajatan, hingga instansi yang ingin membuat seragam khas.
“Paling sering yang pesan itu dari pegawai yang mau bikin seragam atau keluarga yang hendak menggelar acara pernikahan,” ucapnya.
Lewat jemarinya, Rohmad tidak hanya menjahit benang—tapi juga menjalin identitas budaya. Kain tenunnya membawa aroma khas Trenggalek ke berbagai penjuru negeri. Dan dari sinilah kita makin tahu Indonesia: bahwa dari desa-desa kecil pun bisa lahir karya yang menembus batas.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz