Transisi menuju Net Zero Carbon (NZC) di tingkat daerah tidak hanya menuntut komitmen politik, tetapi juga kapasitas kelembagaan, inovasi digital, dan perencanaan pembangunan yang terarah. Perubahan iklim menjadi tantangan global yang menuntut aksi nyata di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk daerah.
Kabupaten Trenggalek menunjukkan komitmennya melalui inisiatif menuju Net Zero Carbon, yakni kondisi di mana emisi karbon yang dihasilkan dapat dikompensasi secara seimbang dengan penyerapan emisi. Kabupaten Trenggalek mengintegrasikan visi NZC 2045 ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025–2045.
Coretan ini menganalisis sinergi RPJMD 2025–2029 dengan reformasi struktur organisasi perangkat daerah (SOTK), pemanfaatan teknologi andal, dan perencanaan berbasis bukti sebagai respons terhadap keterbatasan fiskal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran bukan penghambat, melainkan pemicu efisiensi kelembagaan dan digitalisasi kebijakan iklim. Dengan menjadikan NZC sebagai agenda strategis RPJMD 2025–2029, Trenggalek memiliki peluang besar menjadi model pemerintahan hijau yang adaptif di tingkat lokal.
Pemerintah daerah memegang peran strategis dalam agenda dekarbonisasi nasional. Dalam konteks visi Indonesia Net Zero Emission 2060, Trenggalek menetapkan target lebih ambisius untuk mencapai NZC tahun 2045. Namun, keterbatasan fiskal dan ketidaksinkronan kelembagaan menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, sinergi antara struktur organisasi perangkat daerah (SOTK), transformasi digital, dan perencanaan pembangunan melalui RPJMD menjadi penting untuk memastikan transisi hijau berjalan efektif.
Agenda NZC di Trenggalek tidak cukup hanya dengan niat politik, tetapi membutuhkan pendekatan sistemik yang terstruktur. Sinergi antara kelembagaan (SOTK), teknologi (transformasi digital), dan perencanaan (RPJMD) akan menjadi fondasi transisi hijau yang adil dan efektif. Dalam konteks fiskal yang terbatas, strategi ini juga membuka peluang mobilisasi pembiayaan inovatif, kemitraan publik-swasta, dan akses ke pendanaan iklim internasional.
Dengan demikian, Trenggalek dapat menjadi percontohan nasional dalam membangun masa depan yang berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Daftar Isi [Show]
- Pemerintah Daerah Kabupaten Trenggalek Berperan Strategis dalam Transisi Hijau Menuju Net Zero Carbon 2045
- Pemerintah Daerah sebagai Pilar Dekarbonisasi Nasional
- Komitmen Trenggalek NZC 2045 sebagai Target Ambisius
- Keterbatasan Fiskal Daerah
- Ketidaksinkronan Kelembagaan (SOTK)
- Solusi: Sinergi antara SOTK, Transformasi Digital, dan RPJMD
- a. Reformulasi SOTK untuk Mendukung Dekarbonisasi
- b. Transformasi Digital sebagai Enabler Transisi Hijau
- c. RPJMD Hijau sebagai Peta Jalan Transisi
Pemerintah Daerah sebagai Pilar Dekarbonisasi Nasional
Pemerintah daerah merupakan aktor utama dalam agenda dekarbonisasi karena sebagian besar emisi karbon bersumber dari sektor-sektor yang menjadi kewenangan daerah, seperti tata ruang, energi, transportasi, limbah, dan penggunaan lahan. Sesuai dengan semangat otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah tidak hanya bertugas menjalankan fungsi administratif, tetapi juga berperan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim (Kementerian Dalam Negeri, 2022).
Indonesia telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 dalam dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dan penguatan NDC (Nationally Determined Contribution) 2021. Pencapaian target ini akan sangat bergantung pada kemampuan daerah menerjemahkan komitmen nasional ke dalam kebijakan lokal (Bappenas, 2021; KLHK, 2021).
Komitmen Trenggalek NZC 2045 sebagai Target Ambisius
Kabupaten Trenggalek telah mengambil langkah strategis dengan menetapkan target Net Zero Carbon (NZC) pada tahun 2045, lebih cepat 15 tahun dibanding target nasional. Pilihan tahun 2045 bukan hanya momentum simbolik memperingati 100 tahun Indonesia merdeka, tetapi juga menegaskan posisi Trenggalek sebagai pelopor pembangunan rendah karbon di tingkat kabupaten.
Upaya dekarbonisasi di tingkat lokal menjadi bagian integral dari komitmen nasional dalam menghadapi krisis iklim. Kabupaten Trenggalek, sebagai salah satu daerah dengan target ambisius menuju Net Zero Carbon (NZC) tahun 2045, menghadapi tantangan kompleks yang bersumber dari keterbatasan fiskal, kerangka regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, serta keterbatasan kapasitas kelembagaan.
Dalam konteks tersebut, kemampuan sumber daya manusia (SDM) menempati posisi strategis sebagai faktor pengungkit utama yang menentukan keberhasilan transisi menuju pembangunan rendah karbon.
Pencapaian NZC bukan semata bergantung pada adopsi teknologi atau ketersediaan anggaran, melainkan pada seberapa efektif SDM lokal mampu mengintegrasikan agenda lingkungan dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya melalui RPJMD 2025–2029. Sinergi kelembagaan, transformasi digital, dan peningkatan kapasitas aparatur menjadi syarat mutlak untuk menciptakan tata kelola pembangunan yang adaptif dan berkelanjutan. Dengan demikian, fokus pada penguatan kompetensi SDM lintas sektor menjadi aspek krusial dalam mengakselerasi agenda NZC di era keterbatasan anggaran.
Namun, komitmen ini menghadapi dua tantangan besar:
Keterbatasan Fiskal Daerah
Trenggalek termasuk dalam kelompok daerah dengan kapasitas fiskal rendah berdasarkan klasifikasi Kementerian Keuangan (Permenkeu No. 127/PMK.07/2024). Lebih dari 50% belanja daerah terserap untuk belanja pegawai dan operasional, sementara alokasi untuk program hijau masih terbatas. Ruang fiskal yang sempit menyulitkan daerah untuk melakukan investasi pada infrastruktur rendah karbon, teknologi bersih, atau rehabilitasi lingkungan.
“Kemandirian fiskal merupakan prasyarat agar pemerintah daerah dapat secara otonom menentukan arah pembangunan hijau.” — (APPSI, 2022)
Ketidaksinkronan Kelembagaan (SOTK)
Struktur organisasi perangkat daerah (SOTK) belum optimal dalam mengintegrasikan isu-isu lintas sektor seperti dekarbonisasi. Fungsi-fungsi strategis seperti pengendalian emisi, transisi energi, ekonomi sirkular, dan perubahan iklim tersebar di berbagai OPD, tanpa ada mekanisme koordinasi yang kuat. Hal ini menghambat pelaksanaan kebijakan lintas sektor secara efektif (KLHK, 2022).
Solusi: Sinergi antara SOTK, Transformasi Digital, dan RPJMD
Untuk menjawab tantangan di atas, Trenggalek perlu membangun sinergi kelembagaan dan perencanaan dengan tiga pendekatan utama:
a. Reformulasi SOTK untuk Mendukung Dekarbonisasi
Restrukturisasi SOTK menjadi kebutuhan mendesak agar ada unit atau fungsi khusus yang menangani dekarbonisasi dan perubahan iklim. Langkah ini bisa berupa:
- Penguatan Dinas Lingkungan Hidup sebagai koordinator isu NZC.
- Integrasi fungsi mitigasi dan adaptasi iklim dalam Bappeda dan Dinas PU.
- Penetapan target penurunan emisi dalam indikator kinerja OPD.
Penyesuaian SOTK juga sejalan dengan pendekatan whole-of-government yang mendorong integrasi dan sinergi antar sektor dalam pemerintahan (OECD, 2020).
b. Transformasi Digital sebagai Enabler Transisi Hijau
Digitalisasi birokrasi dan layanan publik dapat mendukung pengambilan keputusan berbasis data, meningkatkan transparansi, dan mempercepat penerapan kebijakan hijau. Contoh implementasi:
- Sistem monitoring emisi berbasis GIS.
- e-Governance untuk perencanaan dan penganggaran berbasis indikator hijau.
- Pengembangan smart city untuk efisiensi transportasi dan energi.
“Teknologi digital memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam proses perencanaan dan pengelolaan kota.” — (World Bank, 2020)
c. RPJMD Hijau sebagai Peta Jalan Transisi
RPJMD 2025–2030 perlu disusun sebagai roadmap pembangunan hijau, dengan indikator spesifik terkait:
- Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektoral.
- Proporsi energi terbarukan.
- Indeks kualitas lingkungan hidup.
- Efisiensi penggunaan energi dan air.
RPJMD juga harus menyelaraskan kebijakan daerah dengan SDGs, khususnya Tujuan 13: Penanganan Perubahan Iklim, serta memasukkan prinsip just transition agar tidak ada kelompok masyarakat yang terdampak secara negatif dalam proses transisi.
“RPJMD harus tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi juga strategi pembangunan rendah karbon yang terintegrasi dan terukur.” — (UNDP Indonesia, 2021)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 menjadi kerangka strategis yang harus memuat agenda iklim secara eksplisit. Integrasi isu perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan ini memastikan adanya anggaran, kebijakan, dan indikator kinerja yang mendukung target Net Zero Carbon. RPJMD juga dapat menjadi instrumen untuk menarik pendanaan luar, baik dari pemerintah pusat, swasta, maupun lembaga internasional.
Percepatan pencapaian NZC 2045 di Trenggalek hanya dapat dilakukan dengan:
- Kelembagaan daerah yang adaptif, melalui reformasi SOTK.
- Pemanfaatan teknologi digital, untuk mendukung efisiensi, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat.
- RPJMD yang visioner dan operasional, sebagai kerangka kerja transisi hijau jangka menengah.
Keberhasilan percepatan ini sangat pula ditentukan oleh kesiapan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat lokal. SDM bukan sekadar pelaksana teknis, tetapi juga aktor strategis yang mampu mendorong sinergi kelembagaan, integrasi kebijakan lintas sektor, serta pemanfaatan teknologi rendah karbon secara efektif dan efisien. Dengan demikian, SDM merupakan faktor kunci percepatan pencapaian NZC 2045 di Trenggalek, bukan hanya dari sisi kompetensi teknis, tetapi juga dari aspek kepemimpinan transformasional, kolaborasi antar-stakeholder, serta sensitivitas terhadap keberlanjutan lingkungan dalam proses perencanaan pembangunan.
Di tengah tekanan fiskal dan tuntutan pembangunan berkelanjutan, kemampuan sumber daya manusia (SDM) muncul sebagai faktor kunci dalam mewujudkan Trenggalek Net Zero Carbon. Sinergi antara kelembagaan yang adaptif, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan integrasi dengan RPJMD 2025–2029 menjadi fondasi strategis untuk mencapai target ambisius ini, meskipun berada di era keterbatasan anggaran.
Sebagaimana tercermin dalam komitmen Pemerintah Kabupaten Trenggalek menuju NZC 2045, transisi energi dan pengurangan emisi tidak cukup hanya bertumpu pada aspek teknis dan regulatif. Diperlukan SDM yang memiliki kompetensi lintas sektor—baik dalam hal perencanaan, pengelolaan data emisi, penguatan kelembagaan, maupun optimalisasi inovasi lokal. Oleh karena itu, pembangunan kapasitas aparatur, kolaborasi antar-OPD, serta keterlibatan masyarakat menjadi prasyarat utama agar agenda dekarbonisasi tidak sebatas wacana, melainkan benar-benar terimplementasi dalam program prioritas daerah.
Dalam keterbatasan fiskal, pemerintah daerah dapat menjajaki skema pembiayaan hijau alternatif, seperti Green Climate Fund, SDG Indonesia One, dan kemitraan publik-swasta. Mewujudkan Trenggalek Net Zero Carbon di era keterbatasan anggaran bukan hal yang mustahil. Justru keterbatasan tersebut menuntut pendekatan yang lebih strategis dan kolaboratif. Melalui penguatan sinergi kelembagaan, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan perencanaan jangka menengah yang terarah, Trenggalek berpotensi menjadi model daerah berkelanjutan di Indonesia.
Kabar Trenggalek - Opini
Editor:Trigus