KBRT – Setiap kali musim kemarau tiba, wajah Parjan (56) kian akrab dengan debu jalan dan panas terik matahari. Dari rumahnya di RT 10 RW 05, Desa Pogalan, Kabupaten Trenggalek, ia mengendarai sepeda motor tuanya, menempuh lebih dari 20 kilometer menuju ladang singkong yang terletak di tengah hutan, berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung.
Di boncengan motornya, petani trenggalek mengisi karung-karung singkong menjadi teman perjalanan. Kadang satu, kadang dua karung, cukup untuk dijadikan bahan baku gaplek, olahan tradisional yang sudah menjadi sumber nafkah keluarganya sejak tahun 1999.
“Setiap musim kemarau, saya itu selalu sibuk kalau belum matahari terbenam. Karena, setelah pulang dari ladang saya langsung mengupas dan mengolah singkong jadi gaplek,” kata Parjan.
Daftar Isi [Show]
Menjaga Tradisi, Menghadapi Cuaca
Gaplek bagi warga Pogalan bukan sekadar makanan. Hampir setiap rumah di lingkungannya bertahan menjadi produsen gaplek rumahan hingga kini. Namun, semua proses masih bergantung pada matahari. Jika cuaca tak benar-benar panas, kualitas gaplek bisa turun drastis.
“Total waktu produksi itu bisa sampai 10 hari, jika sampai dijadikan oyek (beras gaplek),” ujarnya.
Ia tahu betul, jika pengeringan terganggu, rasa gaplek berubah dan harga bisa jatuh. Meski begitu, konsumen tetap setia. Dari Blitar hingga Tulungagung, gaplek Pogalan sudah punya pasar.
“Gaplek itu tetap langsung laku, karena bikinnya terbatas pakai matahari dan tenaga manusia. Beda seperti produksi-produksi yang sudah pakai oven,” jelasnya sambil menyeka keringat.
Pilihan Sulit, Jalan yang Ditempuh
Sebagai petani sekaligus produsen gaplek, Parjan sadar pekerjaan ini melelahkan. Ia pernah menjadi buruh bangunan, tapi sekarang jarang ada panggilan.
“Jadi petani itu sudah ribet terus hasilnya juga tak banyak-banyak. Beda sama yang duduk di atas kursi empuk sehari bisa tiga juta,” ucapnya sambil terkekeh.
Di rumah produksinya, singkong bisa berubah menjadi tiga bentuk olahan:
- Oyek (beras gaplek), yang paling bernilai dengan harga Rp10.000–Rp12.000 per kilogram, meski dulu bisa menembus Rp15.000.
- Laru (tepung gaplek), biasa dipakai untuk adonan tempe goreng.
- Gaplek rusak, yang hanya laku Rp5.000 per kilogram untuk pakan ternak.
Parjan menjelaskan, proses membuat oyek paling menguras tenaga. Singkong harus dikupas, direndam semalaman, dijemur hingga kering, lalu digiling. Setelah itu dikukus, lalu dijemur lagi sampai kadar air habis.
“Dari satu kwintal singkong, jadinya sekitar 60 kilogram gaplek. Lalu dari satu kwintal gaplek bisa jadi 60 kilogram oyek atau beras gaplek,” terangnya.
Bertahan dalam Keterbatasan
Sekali jalan ke ladang, minimal 1,5 liter bensin habis. Tenaga pun terkuras. Namun, Parjan tidak pernah benar-benar menyerah. Ia percaya kerja kerasnya menjaga cita rasa gaplek khas Trenggalek akan selalu ada tempat di pasar.
“Ya tetap bersyukur, terkadang orang Trenggalek sendiri saja kesusahan mau cari gaplek, saya tinggal bikin sendiri,” katanya.
Bagi Parjan, gaplek bukan sekadar pangan atau komoditas. Ia adalah simbol ketekunan, warisan yang dijaga di tengah keterbatasan. Musim kemarau yang melelahkan, bagi Parjan, adalah musim untuk berharap dan bertahan.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz