KBRT - Setiap Iduladha, halaman Masjid Al Jihad di Dusun Panjen, Desa Suruh, Kabupaten Trenggalek, tak hanya menjadi tempat penyembelihan hewan kurban. Ia juga menjadi panggung sunyi tempat iman, amanah, dan gotong royong menyatu dalam harmoni yang tak selalu terucap, tapi terasa dalam setiap kegiatan.
Tak ada jagal bayaran. Tak ada penyembelih dari luar desa. Semua dikerjakan oleh jamaah sendiri. Di tengah semangat kebersamaan itu, nama Nurdjijat mengalir pelan seperti air yang menyejukkan—menjadi nadi dari kegiatan kurban yang telah ia jalani selama 46 tahun.
“Saya teruskan saja. Ndak ada yang berani. Generasi muda banyak yang bisa, tapi belum siap,” ujarnya.
Sejak usia remaja, Nurdjijat sudah menjadi panitia kurban di masjid. Ia mengenang, “Saat masih remaja, saya sudah ikut menyembelih kurban. Saat itu masih marak kambing, lebih dari sepuluh kambing saya sembelih sendiri.”
Daftar Isi [Show]
Awal Peralihan dari Kambing ke Sapi
Perubahan besar dalam pelaksanaan kurban di Masjid Al Jihad terjadi saat H. Boyadi menjabat sebagai takmir. Kala itu, ia memberi amanah kepada Nurdjijat.
“Nur, mbesuk mesjid kene lek iso usahakno kurban sapi,” kata Nurdjijat menirukan pesan H. Boyadi.
Beberapa tahun setelahnya, Nurdjijat mulai mencoba mewujudkan wasiat itu. Diam-diam, ia mengajak tujuh orang untuk ikut berkurban sapi.
“Dulu saya diam-diam cari tujuh orang supaya mau kurban sapi. Ternyata, hasil daging seekor sapi lebih banyak dari 13 ekor kambing saat itu,” tuturnya.
Sejak saat itu, warga semakin banyak yang ikut berkurban sapi. Bahkan, masjid dan musala di sekitar Dusun Panjen mulai ikut beralih dari kambing ke sapi.
Kurban Tanpa Arisan, Tanpa Komisi
Sistem kurban di Masjid Al Jihad berbeda dengan banyak tempat lain. Tidak ada arisan. Jamaah yang ingin berkurban mendaftarkan diri ke panitia, lalu bermusyawarah di masjid. Mereka membentuk kelompok dan menyepakati iuran sesuai kemampuan masing-masing.
Panitia kemudian mencari hewan kurban dari pedagang langganan, dengan satu prinsip: tanpa tawar-menawar harga dan tanpa komisi.
“Dari awal pedagang sudah kami ajak bicara. Karena ini untuk ibadah, yang mencari tidak minta komisi. Jadi saya minta dikasih harga pas. Tanpa tawar-menawar,” ungkap Nurdjijat.
Jika hewan yang ditawarkan kurang sesuai, pedagang akan langsung menawarkan opsi lain dari kandang mitra mereka.
Distribusi Rapi, Tak Ada Daging Menginap

Tahun ini, Masjid Al Jihad menyembelih empat ekor sapi dan dua ekor kambing. Di bawah koordinasi Nurdjijat, sistem distribusi daging kurban berlangsung tertib.
Tujuh orang yang berkurban sapi masing-masing mendapat sepertiga bagian daging ditambah lima bungkus pembagian panitia. Sedangkan peserta kurban dari luar Desa Suruh memperoleh 10 bungkus tambahan untuk dibagikan kepada kerabat.
Sekitar 100 orang jamaah masjid memperoleh satu kilogram daging. Sementara guru dan siswa madrasah serta taman kanak-kanak di sekitar masjid mendapat setengah kilogram per orang—total sekitar 130 bungkus.
Secara keseluruhan, sekitar 650 bungkus daging dibagikan. Jika masih tersisa, Nurdjijat memastikan tidak ada yang bermalam.
“Kalau lebih, ya saya keluarkan. Dibagi ke orang-orang luar daerah yang dulu ikut berjasa membangun masjid dan syiar organisasi. Nggak boleh nginep-nginep,” katanya sambil tersenyum.
Dapur Gotong Royong di Rumah Nurdjijat
Di rumah Nurdjijat, yang tidak jauh dari masjid, para ibu-ibu turut bergotong royong menyiapkan makanan bagi panitia kurban. Tradisi ini merupakan warisan dari Mbah Mukidjan, salah satu pendiri Muhammadiyah di kampung tersebut.
“Kami meneruskan amanat Mbah Mukidjan (menyelenggarakan makan bersama untuk jamaah),” ujarnya.
Daging yang dimasak diambil secukupnya dari bagian sepertiga milik peserta kurban. Sedangkan beras dan bumbu disiapkan secara pribadi.
“Biar mengurangi biaya. Beras saya ambilkan dari hasil panen sendiri,” ucapnya singkat.
Merawat Nilai Ibadah dan Sosial
Nurdjijat bukan sekadar menjaga ritus penyembelihan. Ia merawat nilai sosial dan gotong royong yang mengiringinya. Ia turut membangun masjid, mengorganisasi jamaah, dan menjadi penggerak semangat kolektif.
“Yang dipandang saat ini saya. Selama saya mampu, ya saya jalani,” tutupnya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Lek Zuhri