Bagian Kedua
Perubahan Tatanan Dunia
Runtuhnya kemapanan peta politik global akibat perang dunia kedua dan lahirnya tatanan politik baru sesudah piagam PBB. Sebelum perang dunia pertama, ada peta politik global yang mapan selama ratusan tahun, yakni peta politik dunia yang global didasarkan atas identitas-identitas komunal terutama yang bersifat keagamaan. Ada kerajaan-kerajaan dengan identitas Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan lain sebagainya.
Dua perang dunia meruntuhkan peta dunia yang sudah mapan tersebut, disusul dengan lahirnya konfigurasi politik global yang baru, yang pada gilirannya digiring ke dalam tatanan politik baru berdasarkan konsensus internasional, konsensus setelah perang dunia kedua. Hal ini mengakibatkan perubahan-perubahan fundamental baik ditingkat struktur politik internasional maupun ditingkat masyarakat-masyarakat lokal.
Perubahan-perubahan itu bergulir dalam skala yang luas, sehingga melahirkan wajah baru bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan. Empat perubahan mendasar dapat kita tandai, yaitu:
1) Perubahan Tatanan Politik Internasional
a) Pada masa lalu, hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini, sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan menggantinya dengan identitas nasional.
b) Pada masa lalu, tidak ada rezim perbatasan antarnegara, sehingga hubungan antarnegara berlangsung senantiasa dalam kerangka interaksi militer. Bahkan negara-negara yang secara geografis bersandingan satu dengan lain cenderung terjebak dalam perang abadi di garis batas jangkauan militer masing-masing. Saat ini, dengan adanya rezim internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka perbatasan antarnegara jauh lebih terjamin kemapanannya sebagai batas-batas kedaulatan masing-masing.
2) Perubahan Demografi dan Kewargaan
a) Migrasi mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia melintasi batas-batas negara, sehingga, pada masa kini, kita mendapati potret demografis yang sangat heterogen di berbagai kawasan, termasuk tumbuhnya komunitas muslim dalam jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang pada masa lalu hanya memiliki penduduk non-muslim saja, seperti di Eropa, Amerika, dan kawasan-kawasan lainnya.
b) Pada masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan identitas agama, maka status kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas agama dari penduduknya, dan supremasi agama penguasa dijadikan landasan penilaian. Penduduk yang memeluk agama berbeda dari agama negara cenderung dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai warga kelas dua. Pada masa kini, dengan dilepaskannya identitas agama, maka negara mentolerir keragaman identitas agama di antara warganya.
3) Perubahan dalam Standar Norma-norma (‘urf)
Praktik-praktik mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditolerir, seperti perbudakan, penjajahan antarbangsa, persekusi dan diskriminasi atas minoritas, kini secara umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma keadaban.
4) Globalisasi
Globalisasi yang didorong oleh interaksi-interaksi ekonomi dan perkembangan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis, maupun batas-batas politik antarbangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial. Perkembangan teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik, sehingga setiap peristiwa yang terjadi di manapun berpotensi memicu rangkaian konsekuensi-konsekuensi global.
Seiring dengan perubahan-perubahan tersebut masyarakat internasional masih bergulat untuk mengatasi berbagai ancaman konflik, baik yang merupakan warisan dari konstruksi peradaban lama maupun yang lahir dari dinamika politik yang baru. Yang jelas bahwa fokus pergulatan masyarakat Internasional dalam hal ini adalah mencegah terulangnya perang-perang besar seperti perang dunia pertama dan kedua.
Bagian Ketiga
Posisi Agama-Agama dan Tanggapan Islam Terhadap Tata Dunia Baru
Agama-agama sejak lahirnya mengibarkan klaim sebagai penyelamat umat manusia mengemban dalam dirinya tendensi supremasi untuk menundukkan seluruh dunia di bawah otoritas agama yang bersangkutan tak terkecuali Islam. Itu sebabnya dalam sejarah struktur otoritas agama senantiasa mengembangkan kapasitas ekspansi untuk memperluas jangkauan pengaruhnya.
Perebutan supremasi antara agama inilah yang menjadi penyumbang terbesar dari konstruksi peradaban sebelum perang dunia pertama. Setelah konsensus internasional pasca-perang dunia kedua itu posisi normatif dari agama-agama masih tetap pada posisi yang mereka pegang dalam konteks peradaban lama sehingga tendensi dasar dari agama-agama yaitu ekspansionisme dan kompetisi supremasi berbenturan dengan kepentingan masyarakat internasional untuk mencegah konflik.
Di pihak lain sejauh menyangkut Islam masalah mendasar ini dipertajam dengan trauma kekalahan militer pada dunia pertama yang disusul dengan kolonisasi atau penjajahan wilayah berpenduduk muslim—yang sebagai besar merupakan bekas Turki Utsmani—oleh kerajaan-kerajaan Kristen Barat.
Hal ini melahirkan mindset yang dominan di dunia Islam yang memandang tata dunia baru hasil konsensus internasional pasca-perang dunia kedua sebagai kelanjutan dan peneguhan kemenangan Kristen-Barat atas Islam. Walaupun realitas politik yang baru telah lahir di sebagian dunia Islam dengan format, struktur dan norma-norma politik yang baru wawasan keagamaan yang dominan masih merujuk kepada wacana yang mapan sejak masa kejayaan Turki Utsmani.
Situasi ini melestarikan kecenderungan resistensi dunia Islam terhadap tata dunia baru tersebut dan dengan sendirinya menghidupi api permusuhan di dalam sekam tata dunia yang masih penuh ketidaksempurnaan. Akar dari masalah ini adalah kerawanan-kerawanan yang ada dalam hubungan antara wawasan keislaman yang mapan dengan konstruksi normatif dari tata dunia baru tersebut.
Dalam hal ini dapat diidentifikasi empat pusat kerawanan. Pertama, menyangkut pandangan tentang status non-muslim di tengah kehidupan bermasyarakat dan norma-norma menyangkut interaksi antara muslim dengan non-muslim. Kedua, pandangan tentang model negara yang diterima oleh syariat. Ketiga, pandangan yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan hukum negara sebagai hasil dari proses-proses politik modern. Keempat, pandangan menyangkut penyikapan terhadap konflik-konflik yang melibatkan kelompok-kelompok dari kalangan umat Islam.
Apabila wawasan keislaman terutama yang berkaitan dengan empat pusat kerawanan di atas tidak berubah maka Islam akan terus menjadi kekuatan yang mengancam stabilitas tata dunia dan berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik besar yang mengancam keamanan global. Di sisi lain, perubahan-perubahan dalam wawasan keislaman itu sendiri menuntut dipenuhinya prasyarat-prasyarat dan disiplin prosedural yang tidak mudah dipenuhi.