Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf mendapatkan gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (13/02/2023) di Auditorium Prof Dr M. Amin Abdullah.
Dilansir dari NU Online, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Al Makin, mengatakan Ketum PBNU Gus Yahya berkontribusi penting dalam membuka dialog antaragama di dunia untuk mewujudkan perdamaian.
Prof Al-Makin menyampaikan, dalam sejumlah pertemuan internasional, Gus Yahya memandang bahwa Islam sebagai agama dan jalan hidup juga memiliki peran penting untuk memberikan solusi atas problem masyarakat dunia.
Oleh karena itu, lanjut Prof Al Makin, Gus Yahya bukan hanya pemimpin bagi warga Nahdlatul Ulama, tetapi juga pemimpin bagi seluruh umat.
Gus Yahya menawarkan rekontekstualisasi ajaran Islam untuk tatanan dunia baru mengingat perubahan dunia saat ini berjalan dengan cepat. Hal itu disampaikan dalam naskah pidato ilmiahnya.
Berikut naskah lengkap pidato ilmiah Gus Yahya dalam penganugerahan doktor kehormatan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:
Pidato Ilmiah KH Yahya Cholil Staquf
Rekontekstualisasi Ajaran Islam Untuk Tatatan Dunia Baru
Bagian Pertama
Refleksi Pascaperang Dunia
Konflik atas nama Islam, baik internal (sesama muslim) maupun eksternal (muslim maupun non-muslim) masih terus marak di belahan dunia hingga saat ini. Berbagai upaya besar yang telah dilakukan oleh berbagai pihak tidak kunjung mampu menyelesaikannya, bahkan intensitas konflik cenderung meningkat sehingga mengganggu keamanan dan stabilitas global. Pola yang tampak dalam konflik-konflik tersebut ternyata muncul pula dalam fenomena-fenomena konflik yang terkait dengan agama-agama dan atau ideologi-ideologi di luar Islam.
Refleksi historis menunjukkan bahwa fenomena konflik ini di masa lalu adalah fenomena yang normal. Masa dahulu adalah rimba identitas-identitas yang saling berkompetisi supermasi satu sama lainnya, baik identitas rasial, etnik, agama, budaya, klan, maupun ideologi-ideologi lainnya. Lebih dari itu, Konflik peperangan di masa lalu adalah mekanisme yang wajar untuk menyelesaikan persaingan dan pertentangan.
Dan sekarang ini, sejalan semakin terintegrasinya masyarakat global ke dalam suatu wahana pergaulan yang menghubungkan semua aktor yang ada satu sama lain, dan seiring pula dengan perkembangan teknologi khususnya teknologi militer, perwujudan konflik antar identitas berkembang menjadi semakin intens tingkat kekerasannya dan semakin luas skala keterlibatan pihak-pihak di dalam konflik itu. Hal ini disebabkan karena keterhubungan antarpihak menjadikan dimungkinkannya konsolidasi kekuatan secara besar-besaran ke dalam aliansi-aliansi politik dan militer berskala internasional.
Sementara itu, perkembangan teknologi melahirkan persenjataan militer dengan daya rusak yang semakin meraksasa pula. Di dalam sejarah dunia telah mengalami puncak konflik antar identitas dalam wujud perang-perang besar, yaitu perang dunia pertama pada 1914-1918 dan perang dunia kedua 1939-1945. Dua perang dunia tersebut mengakibatkan korban kemanusiaan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak kurang dari 10 juta korban jiwa, 21 juta korban luka dalam perang dunia pertama dan lebih dari 60 juta korban jiwa dalam perang dunia kedua.
Dua perang dunia tersebut, yang melibatkan lebih dari 50 negara, menjadi hentakan peradaban bagi umat manusia sedemikian rupa sehingga mendorong masyarakat internasional untuk membangun konsensus politik baru demi mengupayakan terwujudnya suatu tata dunia yang diharapkan mampu menekan kecenderungan konflik antar identitas dan mencegah terulangnya perang besar seperti perang dunia pertama dan kedua.
Pada tanggal 26 Juni 1945 di San Francisco Amerika Serikat sejumlah negara besar menandatangani kesepakatan yang kemudian disebut “Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Piagam itu pada gilirannya menjadi dasar dibentuknya organisasi PBB yang dimaksudkan berfungsi sebagai rezim internasional dalam konstruksi tata dunia baru.
Komponen-Komponen Utama dari Tata Dunia Baru
Pertama, adalah rezim perbatasan internasional yang menetapkan batas-batas definitif dari setiap negara sebagai lingkup kedaulatan yang dihormati dan dilindungi dari serangan pihak luar. Hal ini mengubah pola interaksi antara negara yang bertetangga dari ketegangan militer dan konflik abadi, menjadi jaminan hak dan kedaulatan atas dasar aturan-aturan yang disepakati. Di atas rezim perbatasan internasional itu hubungan antarnegara dijalankan dan dikelola di dalam tatanan yang didasarkan atas aturan-aturan (rules-based order).
Kedua, adalah nilai hak asasi universal yang berisi prinsip penghormatan atas kesetaraan hak dan martabat bagi semua manusia terlepas dari perbedaan latar belakang apapun, baik tas, etnik, agama, ideologi sekular maupun label-label identitas lainnya. Nilai ini dimaksudkan untuk menghentikan persaingan perebutan supremasi di antara kelompok-kelompok yang ada dengan menghilangkan diskriminasi. Umat manusia diatur, diperintah agar mengedepankan dialog dengan setara dan rasional untuk menyelesaikan pertentangan.
Negara-negara baru yang lahir sesudah perang dunia kedua mendapatkan legitimasi dan kedaulatan atas dasar prinsip-prinsip tata dunia baru ini, di bawah perlindungan rezim organisasi PBB. Dalam kurun beberapa dekade kemudian, rezim tata dunia baru tersebut secara relatif berhasil ditegakkan sebagai suatu kemapanan internasional, walaupun di dalam dirinya terdapat kerawanan-kerawanan yang berpotensi menimbulkan krisis sistemik. Setidaknya saya mencatat ada 3 kerawanan:
Pertama, bahwa perangkat-perangkat aturan yang diperlukan sebagai kelengkapan dari rules-based order yang diidelalisasikan belum komplit. Masih banyak isu-isu menyangkut nilai-nilai dan aturan-aturan yang belum disepakati secara internasional. Misalnya aturan-aturan mengenai perbatasan (garis batas) perairan yang dituangkan dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Low of the Sea) masih menyisakan berbagai masalah sehingga tidak sepenuhnya mampu menutup potensi-potensi sengketa batas-batas perairan antar negara.
Indonesia memiliki pengalaman sengketa perbatasan dengan Malaysia di kawasan pulau Sipadan dan Ligitan dan belakangan dengan China di kawasan laut Natuna. Timor-Timur berhadapan dengan Australia di selat Timur, Turki bersengketa dengan Siprus di ladang minyak dan gas di perairan laut Tengah bagian timur, dan lain sebagainya.
Kedua, desain struktural dari organisasi PBB itu sendiri oleh banyak anggota-anggotanya dipandang tidak mencerminkan kesetaraan universal dengan adanya wewenang khusus bagi anggota-anggota tetap dewan keamanan PBB terutama hak veto yang ada pada mereka.
Ketiga, sejumlah aktor global baik negara-negara atau penguasa-penguasanya, gerakan-gerakan dengan ideologi transnasional maupun korporasi-korporasi multinasional melakukan upaya-upaya untuk melemahkan skema rules-based order yang ada demi agenda-agenda dominasi global.
Dewasa ini perkembangan dinamika internasional semakin membangkitkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya bencana-bencana besar akibat ketegangan politik militer yang terus memuncak. Pada saat yang sama peran dan wibawa organisasi PBB terus merosot sehingga organisasi PBB cenderung disfungsional sebagai pengelola hubungan antara negara dalam pergaulan global.
Dunia seolah terjebak dalam kebimbangan yang luar biasa berbahaya, yaitu apakah tata dunia pascaperang dunia kedua ini masih layak untuk dipertahankan (PBB dan lainnya)? Apakah tata dunia ini punya kapasitas untuk mencegah bencana konflik global yang berpotensi meruntuhkan seluruh bangunan peradaban umat manusia? Kalau konstruksi tata dunia ini ditinggalkan, apa alternatifnya?
Apabila kebimbangan ini tidak segera menemukan jawaban yang meyakinkan, maka masa depan keberadaan umat manusia sebagai penduduk planet bumi ini sungguh terancam.
Tinggalkan Komentar