Bagian Keempat
Syariat dan Politik
Sebagai taklîf (beban) individu pengamalan syariat adalah wujud ketaatan kepada Tuhan berdasarkan iman. Pada tingkat kolektif masyarakat syariat berfungsi sebagai sendi tertib sosial. Sedangkan tertib sosial itu sendiri pada dasarnya adalah konstruksi politik. Itu sebabnya itu sejumlah aspek dalam syariat melibatkan kategori-kategori politik dan penerapannya di dalam masyarakat mensyaratkan koersi (pemaksaan) politik oleh otoritas yang dianggap sah.
Selama lebih dari tiga belas abad, yaitu sejak Rasulullah saw berhasil menciptakan tatanan sosial politik bagi masyarakat Madinah sampai dengan runtuhnya Turki Utsmani, kehidupan kolektif umat Islam dikerangkai dengan suatu model politik yang kurang lebih tetap atau konstan, tanpa perubahan yang berarti. Maka selama lebih dari tiga belas abad itu pula ortodoksi syariat tumbuh dan mapan sebagai konstruksi tertib sosial yang saling berkelindan, tak terpisahkan dengan model konstruksi politik tersebut. Model ortodoksi syariat dan konstruksi politik yang mapan laksana sepasang jodoh atau dua sisi mata uang yang sama. Dengan runtuhnya Turki Utsmani model konstruksi politik yang tumbuh selama tiga belas abad itu pun hilang begitu saja. Maka ortodoksi syariat kehilangan pasangannya.
Ketika konstruksi-konstruksi politik yang baru, kemudian bermunculan ortodoksi syariat tidak dapat secara seirama menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Kesulitan ortodoksi syariat beradaptasi dengan perubahan itu berakar pada dua hal.
Pertama, karena dalam ortodoksi syariat itu dikembangkan disiplin paradigmatik yang mencegah atau membatasi perubahan-perubahan.
Kedua, model otoritas politik yang disemati wewenang untuk menginisiasi dan menyangga perubahan-perubahan dalam ortodoksi syariat itu sendiri sudah tidak ada. Kepincangan ini menjadikan operasionalisasi syariat (tathbîq asy-syarî’ah) suatu arena pergulatan yang cenderung kacau akibat hilangnya koherensi antara kerangka konseptual ortodoksi syariat dengan realitas obyektif dari konstruksi politik yang tersedia.
Konstruksi negara bangsa yang merupakan basis dari tata dunia hari ini tidak menyediakan fungsi hakim sebagaimana disyaratkan dalam tathbîq asy-syarî’ah. Bahkan negara-negara yang mengklaim identitas Islam pun secara konseptual tidak punya kapasitas untuk menyediakan pemangku peran hâkim yang dapat diterima universal oleh dunia Islam seluruhnya. Sebab, tidak satu pun dari negara-negara Islam itu memiliki legitimasi sebagai wakil konstruksi politik Islam sebagaimana yang disyaratkan dalam kerangka kerja ortodoksi syariat. Persis, karena masing-masing negara Islam dibangun dalam kerangka kerja negara bangsa.
Bagian Kelima
Pilihan-Pilihan dan Konsekwensi-Konsekuensi Obyektif
Hingga saat ini, dunia masih dirundung konflik ketidakadilan dan aniaya. Permusuhan atas nama agama masih terus berlangsung di banyak kawasan. Eksploitasi politik dan ekonomi yang tidak adil pun merupakan pemandangan yang lazim di mana-mana. Doktrin Islam menuntut koherensi antara iman, wawasan keagamaan, dan tindakan atau amal perbuatan.
Di dalam syariat yang mapan, menegakkan al-imâmah al-‘uzhmâ sebagai hâkim universal dipandang sebagai kewajiban mutlak. Kenyataan bahwa sejak berakhirnya Daulah Umayyah kesatuan imâmah tidak terjadi dan tidak pernah lagi terjadi hingga sekarang. Berdirinya Daulah Abbasiyah di Baghdad diiringi oleh berdirinya Daulah Bani Ahmar di Kordova di Spanyol. Bahkan di kemudian hari Turki Utsmani yang tegak sebagai Daulah yang paling berpengaruh di dunia Islam pada masanya tetap saja harus berbagi wilayah politik dengan daulah-daulah Islam lainnya; Tinbuktu di Afrika, Syafawi di Persia, Mughal di India dan lain sebagainya.
Para ulama pada masa-masa itu, mentolerir ketiadaan imâmah tunggal dengan alasan kedaruratan akibat luasnya wilayah yang menyulitkan konsolidasi, tetapi alasan obyektif dalam realitas adalah kemustahilan politik dari pusat-pusat kekuasaan yang ada untuk tunduk satu sama lain. Sementara itu, menegakkan satu imâmah tunggal bagi seluruh umat Islam tetap dipertahankan sebagai cita-cita yang wajib diperjuangkan.
Jelas bahwa ada masalah besar yang tidak terpecahkan selama berabad-abad, yaitu inkoherensi antara wawasan normatif dengan realitas obyektif, kesenjangan antara wawasan syariat dengan tathbîq-nya. Masalah ini terus membesar dan semakin kompleks sehingga yang kita dapati hari ini adalah konfigurasi yang sangat dalam pergulatan politik terkait syariat.
Pada dasarnya, di tengah keseluruhan lanskap realitas global hari ini, dunia Islam menghadapi dua pilihan. Pertama, apakah akan kembali kepada wawasan syariat lama? Kedua, mengembangkan wawasan baru?
Kalau kita memaksakan tathbîq atas dasar wawasan lama maka yang kita dapati adalah konstruksi sosial- politik yang disyaratkan untuk menopang tathbîq itu sendiri. Di dunia Islam sudah tidak ada lagi setelah keruntuhan khilâfah Turki Ustmani.
Memaksakan upaya mendaulat al-imâmah al-‘uzhmâ di tengah keragaman sistem politik yang sudah mapan di dalam realitas konsekuensinya adalah juga kekacauan yang bahkan lebih besar lagi karena negara-negara di mana umat Islam saat ini tinggal. Maka jelas bahwa pilihan kembali kepada wawasan lama dalam kenyataannya membawa konsekwensi-konsekwensi yang bertentangan bahkan meruntuhkan maqâshid asy-syarî’ah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta.
Bahkan, secara langsung bertentangan dengan tujuan syariah itu sendiri, karena hal itu akan menyebabkan kehancuran yang meluas terhadap institusi agama dan tempat ibadah, jiwa, akal, keturunan (keluarga), dan harta. Bagaimana mungkin kita memaksakan apa yang kita anggap sebagai syariat di satu sisi sementara di sisi lain jelas-jelas membawa konsekwensi keruntuhan maqâsid-nya. Dengan demikian pilihan pertama ini tertolak.
Sebagai alternatifnya adalah mengubah seperangkat pandangan fiqih yang telah mapan sebagaimana disebut di atas. Di dalam fiqih itu sendiri kita mengenal kaidah; ‘Hukum itu ada dan tidak adanya berputar mengikuti ‘illat-nya (al-hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman). Berdasarkan prinsip ini, mengubah pandangan fikih yang telah mapan tentang ketidakrelevanan untuk kembali mendirikan al-imâmah al-uzhmâ atau khilâfah memerlukan pendekatan yang dianggap sah dalam pandangan fikih.
Bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilâfah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.
Cita-cita mendirikan kembali negara khilâfah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.
Karena itu cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islâmiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah), seperti yang disuarakan Nahdlatul Ulama sejak tahun 1984.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun demikian piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai, harmonis, dan adil.
Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilâfah, kami memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fiqih, yaitu fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariat.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Februari 2023
DR (HC) KH Yahya Cholil Staquf