Aktivis Perempuan Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren seperti Fenomena Gunung Es

Aktivis Perempuan Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren seperti Fenomena Gunung Es

Aksi Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual: Menagih Kinerja Profesional Polda Jatim Usut Tuntas Kasus Perkosaan Santriwati di Jombang, (15/7/2020)/Foto: Kabar Trenggalek - Wahyu Agung Prasetyo

Kabar Trenggalek – Kekerasan seksual di pesantren yang dilakukan SMT, ustad di Trenggalek, kepada 34 santriwati mendapat sorotan dari beberapa aktivis perempuan. Tsamrotul Ayu Masruroh, aktivis Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres) mengapresiasi keberanian korban untuk melaporkan tindakan bejat SMT, Rabu (29/9/2021).

“Saya apresiasi, hormat kepada korban yang sudah berjuang melawan kekerasan seksual yang sudah dilakukan oleh ustad di salah satu pondok di Trenggalek. Itu satu hal yang luar biasa,” ujar Ayu.

Ayu menjelaskan, keberanian korban harus diapresiasi karena banyak kesulitan yang harus dihadapi dan dilalui korban untuk melapor. Menurut Ayu, kekerasan seksual di pesantren itu seperti fenomena gunung es. Ketika ada satu kasus yang terungkap ke permukaan (publik) sebenarnya ada banyak kasus lain yang tidak terungkap.

Baca juga: Empat Korban Ustad Cabul di Trenggalek Melapor ke Polisi

“Kasus kekerasan seksual yang menimpa 34 santri dengan pelaku ustad di pesantren Trenggalek adalah salah satu kasus kekerasan seksual yang terungkap dan aparat hukum berhasil menangkap pelaku tersebut. Selebihnya, masih banyak kasus kekerasan seksual di pesantren yang tak terungkap bahkan ditutup rapat-rapat oleh pihak pesantren itu sendiri,” jelas Ayu.

Ayu menyebutkan, beberapa kasus kekerasan seksual itu berupa perkawinan paksa, perkawinan di bawah umur, pelecehan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Rata-rata, kekerasan seksual itu dilakukan oleh otoritas tertinggi di pesantren. Seperti ustad, kiyai, pengasuh, maupun pemilik pesantren.

“Masih banyak kasus-kasus yang nggak terungkap karena pesantren itu menutupi dan menganggap kasus kekerasan seksual itu aib pesantren. Dan membicarakan aib itu di kalangan orang Islam harus ditutupi,” kata Ayu.

Baca juga: Kronologi Pelaporan Ustad di Trenggalek yang Cabuli 34 Santriwati

Kasus kekerasan seksual terhadap 34 santriwati di Trenggalek ini perlu disikapi dengan waspada oleh masyarakat. Dian Meiningtias, aktivis perempuan Trenggalek, menyebutkan kasus kekerasan seksual ini merupakan kejahatan yang tidak manusiawi karena korbannya adalah anak-anak.

“Butuh sikap waspada dari kita semua atas bahaya yang mengintai anak-anak, sekaligus kita mengutuk keras bentuk-bentuk kejahatannya. Munculnya kejahatan seksual terhadap anak-anak merupakan bentuk kejahatan yang merusak masa depan anak. Di samping itu, tindak kejahatan ini menimbulkan traumatis dalam perkembangan psikologi korban,” jelas Dian.

Dian berkata, kasus kekerasan seksual yang dilakukan ustad ini merupakan bentuk kasus pedofilia. Terlebih, dalam kasus ini ada relasi ustad dan santri yang memungkinkan celah bagi ustad untuk menggunakan bahasa dan tindakan yang mengarah pada kekerasan seksual. Posisi ustad bisa menuntut kepatuhan dari santri. Sedangkan santri yang merupakan anak-anak, syarat akan posisi lemah dan mudah diperdayai.

“Terungkapnya kasus kekerasan seksual, entah yang terjadi pada anak maupun orang dewasa, merupakan fenomena dengan penampakan gunung es. Sebuah fenomena yang mengemuka di permukaan, namun jika dicari secara radikal, kasus semacam ini memiliki implikasi [keterlibatan] lebih banyak dan luas,” kata Dian.

Baca juga: Tiga Tahun Cabuli 34 Santriwati, Ustadz di Trenggalek Ditangkap Polisi

Menurut Dian, kasus kekerasan seksual terjadi karena pandangan masyarakat patriarki (dominasi laki-laki terhadap perempuan) yang menempatkan beragam stigma dan labelisasi terhadap korban kekerasan seksual. Sehingga, kasus kekerasan seksual sulit terungkap karena terkendala stigma masyarakat yang membuat korban maupun pihak keluarga menjadi tertutup.

“Dalam banyak kasus tidak jarang harus selesai dengan upaya menutup kasus karena anggapan lama mengenai stigma yang dilabelkan pada korban,” jelas Dian.

“Untuk mencegah dan menangani kasus seperti ini, yang perlu ditekankan adalah kesadaran atas bahaya yang ditimbulkan. Upaya ini secara tidak langsung juga mampu menghapus stigma yang hadir membersamai korban-korbannya. Sehingga kasus serupa bisa terungkap tanpa korban merasa malu dan takut disalahkan masyarakat sebagai penyebab atas tindakan kekerasan seksual,” terang Dian.

Exit mobile version