KBRT – Menyambut datangnya bulan Suro, masyarakat Dusun Gunung Kembaran, Desa Tawing, Kecamatan Munjungan, Trenggalek, menggelar pawai tumpeng dan ogoh-ogoh berbentuk babi hutan (celeng) sebagai simbol tolak bala. Kegiatan ini merupakan bagian dari tradisi ruwatan untuk memohon perlindungan serta keselamatan di tahun baru Jawa dan Hijriah.
Ogoh-ogoh celeng menjadi ikon utama dalam arak-arakan tersebut. Warga memilih bentuk tersebut sebagai wujud keresahan mereka terhadap gangguan hama babi hutan yang kerap merusak hasil pertanian masyarakat setempat.
“Babi hutan ini jadi simbol keresahan kami. Banyak petani di Munjungan yang panennya rusak dijarah hama itu. Jadi ogoh-ogoh celeng ini bentuk harapan agar kami terbebas dari gangguan itu di tahun ini,” ujar Bayu Teguh Pambudi (29), panitia kegiatan sekaligus anggota Remaja Masjid Al-Huda.
Bayu menyampaikan bahwa kegiatan yang bertajuk Suroan Luhur ini merupakan gelaran perdana di dusun tersebut. Namun, antusiasme warga sangat tinggi. Seluruh ogoh-ogoh dan tumpeng dibuat secara gotong royong, menggunakan sumbangan hasil bumi, jajanan UMKM, dan makanan ringan dari pemilik toko kelontong di sekitar dusun.

Arak-arakan dimulai pukul 20.00 WIB dengan rute sepanjang 2,5 kilometer mengelilingi lingkungan Dusun Gunung Kembaran. Meski menggunakan iring-iringan ronda kentongan dan gending sholawat Jawa, pawai ini tetap berlangsung khidmat dan meriah.
“Yang menarik, selain ogoh-ogoh celeng, semua tumpeng yang diarak juga berasal dari kontribusi warga. Baik petani maupun pemilik toko ikut menyumbang hasil panennya,” jelas Bayu.
Menurutnya, seluruh kebutuhan operasional seperti konsumsi, sound system, hingga penerangan juga didapat dari sumbangan sukarela warga. Jika dihitung total, nilai kontribusi masyarakat bisa mencapai lebih dari Rp10 juta, sementara panitia hanya menggunakan dana kas remaja masjid sebesar Rp2 juta.
Setelah pawai mencapai garis akhir di area Masjid Al-Huda, acara dilanjutkan dengan doa bersama dan pembagian tumpeng serta nasi lodho kepada seluruh peserta dan pengunjung.
“Siapa pun boleh ikut. Acara ini terbuka untuk umum, dari pawai sampai makan bersama. Harapannya, ini bisa menjadi contoh kegiatan positif menyambut bulan Suro, yang selama ini cenderung dianggap menyeramkan,” tandas Bayu.
Ia berharap Suroan Luhur bisa menjadi agenda rutin di Munjungan, dan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk menghidupkan nilai-nilai kebudayaan dan spiritualitas secara membumi dan kolektif.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz