KBRT - Di sudut Pasar Sore Trenggalek yang mulai lengang, satu lapak sederhana tetap bertahan. Di balik tumpukan sayuran segar dan bumbu dapur itu, Supinatin, 55 tahun, duduk sambil merapikan dagangannya. Malam makin larut, namun semangat Supin tidak ikut redup.
Bagi wanita paruh baya yang akrab disapa Supin ini, berjualan hingga pukul 22.00 WIB bukan hal baru. Selama 35 tahun, ia menjalani rutinitas ini dengan penuh ketekunan. Semua berawal dari keinginan sederhana: membantu perekonomian keluarga kecilnya.
"Setidaknya kalau punya jualan begini kan bisa bantu urusan dapur," katanya sembari tersenyum. Supin tinggal bersama suami, dua anak laki-lakinya, dan satu cucu di Dusun Nglongah, Desa Sumberingin.
Setiap hari, Supinatin membuka lapaknya, terkadang sejak pagi. Jika ada urusan di rumah, seperti panen padi, ia baru mulai berdagang selepas Maghrib. Ia bercerita, dulu ia biasa berangkat menggunakan motor atau bahkan sepeda. Namun kini, trauma akibat kecelakaan membuatnya enggan kembali menunggangi kendaraan itu.
"Hari ini saya mulai buka habis Maghrib karena di rumah lagi panen," ceritanya. "Dulu saya masih bisa pakai motor, tapi sekarang sudah tidak bisa karena pernah jatuh."
Tidak hanya tantangan di jalan, Supin juga sempat berjuang melawan tekanan darah tinggi. Tahun lalu, ia harus berhenti berjualan selama beberapa bulan, menghabiskan biaya berobat hingga Rp50 juta.
"Saat itu tekanan darah saya sampai angka 200. Ya, syukur sekarang sudah bisa jualan kembali," ucapnya penuh rasa syukur.
Di lapaknya, Supinatin tidak hanya menjual sayur dan bumbu dapur. Ia juga menyediakan minyak goreng, telur, hingga gula pasir. Pelanggannya kebanyakan adalah pedagang makanan kaki lima seperti penjual nasi goreng dan mi ayam yang beraktivitas di sekitar Pasar Subuh.
Meski belakangan ini pendapatan menurun, Supin tetap bersyukur. "Kalau dibandingkan dengan pagi, ya masih lebih ramai. Tapi akhir-akhir ini pendapatan saya berkurang," ujarnya.
Dalam semalam, Supin bisa membawa pulang antara Rp200.000 hingga Rp350.000. Meski begitu, perjuangannya tidak berhenti di pasar. Kadang, setelah dijemput oleh anaknya, ia masih terjaga hingga waktu Subuh.
"Yang penting masih kuat, saya akan tetap berjualan," tegasnya. "Membantu suami yang bertani, membuat saya merasa lebih bahagia. Setelah sembuh tahun kemarin, anak-anak juga sering mengajak saya jalan-jalan."
Di antara ribuan lampu kota yang perlahan meredup, semangat Supinatin tetap menyala, seterang lapak kecil yang tak pernah benar-benar sepi.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz