KBRT – Menyelami dasar sungai usai banjir surut menjadi rutinitas harian belasan pengais pasir di Sungai Ngasinan, Dusun Jatisari, Desa Pogalan, Kecamatan Trenggalek. Di balik derasnya aliran Sungai Ngasinan, tangan-tangan tangguh itu mengangkat pasir dengan alat sederhana: timba dari anyaman bambu yang dilapisi logam.
Meski terkesan tradisional, pekerjaan ini telah menjadi penopang hidup utama mereka selama puluhan tahun. Sutrisno (55), salah satu pengais pasir, memulai aktivitasnya sejak pagi. Kakinya terendam hingga paha, matanya menyapu aliran sungai, mencari titik yang cukup dalam untuk ditimba.
“Dari dulu ya seperti ini, sudah lebih dari 30 tahun saya kerja seperti ini. Sekarang satu rit bisa laku Rp250 ribu, dulu saya jual cuma Rp40 ribu,” kenangnya saat ditemui di lokasi, Jumat (11/04/2025).
Tak kurang dari 18 orang menggantungkan hidup dari pasir sungai ini. Setiap rit—sekitar 160 timba—dikerjakan oleh dua orang, bergantian. Setelah satu tim berhasil menjual, mereka menunggu giliran sambil kembali mengumpulkan pasir.
“Kami punya sistem giliran. Satu rit dikerjakan berdua. Kalau sudah jual, gantian yang lain. Biar adil dan tetap rukun,” ujarnya sambil memperbaiki anyaman timba yang mulai longgar.
Hari-hari pengais pasir tidak selalu ramai pembeli. Sutrisno mengaku, dalam seminggu, bisa jadi hanya dua atau tiga hari ada pembeli yang datang. Sisanya, mereka menunggu—dan tetap menimba.
“Bulan puasa kemarin ramai, sehari bisa enam pembeli datang dari Trenggalek dan Tulungagung. Tapi sekarang sudah sepi lagi. Hari ini cuma satu yang beli,” katanya.
Meski begitu, mereka tak gentar. Sutrisno dan rekan-rekannya memilih bertahan dengan cara lama. Dahulu, pernah ada yang mencoba menggunakan mesin diesel, namun mereka tetap setia dengan metode tradisional yang tak hanya menjaga alam, tapi juga nilai kebersamaan.
Tak hanya mengais pasir, para pekerja ini juga turut membangun desa. Mereka menyumbang pasir saat paving jalan desa, bahkan merawat jalan akses menuju sungai secara swadaya.
“Kalau jalannya rusak, ya kami perbaiki. Dana patungan sendiri. Soalnya ini juga akses utama kami ke sungai,” imbuh Sutrisno.
Di balik kerasnya medan kerja dan ketidakpastian penghasilan harian, Sutrisno tetap bersyukur. Ia merasa pekerjaannya adalah warisan ketekunan dan kebersamaan, bukan semata soal mencari nafkah.
“Yang penting halal dan bisa makan. Kalau kerja di tempat lain saya belum tentu kuat. Ini sudah bagian hidup saya,” tuturnya sambil tersenyum.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz