Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRTTulis Artikel

Manifesto Revolusi ’Ala Jadah Bakar Simbol Perlawanan Kuliner yang Membakar Semangat Rakyat

Ketua STAI Muhammadiyah Tulungagung dan Pecinta Kuliner Jadah Bakar

  • 21 Sep 2025 10:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Di tengah riuhnya aksi massa yang kerap berujung benturan dengan aparat, saya memilih menepi dan menemukan secuil kuliner sederhana  “jadah bakar”. Makanan desa ini bukan sekadar peninggalan tradisi yang melegenda di berbagai pelosok Nusantara, tetapi sebuah metafora kuat tentang daya perlawanan dan energi rakyat yang tidak bisa diremehkan. 

    Aroma gosongnya yang khas serta tekstur lengket dan panas seolah menghadirkan asupan energi yang menggerakkan tubuh sekaligus membakar semangat kolektif dalam menuntut kebijakan negara yang lebih berpihak pada rakyat. Jadah bakar tidak hanya menghangatkan lidah, tetapi juga memantik bara perlawanan.

    Jadah bakar bukanlah produk yang mendapat sokongan anggaran negara. Ia tumbuh tanpa dana dari APBN maupun APBD, yang sering kali lebih diprioritaskan untuk proyek mercusuar daripada kebutuhan dasar rakyat. 

    Ironisnya, meski lahir dari sektor informal, jadah bakar tetap memberikan kontribusi melalui pajak. Pajak ini justru dipakai untuk menggaji pejabat dan wakil rakyat yang kerap berjarak dengan denyut kehidupan masyarakat kecil. Dari sinilah terlihat kekuatan simboliknya: ekonomi rakyat, meski minim dukungan negara, tetap menjadi tulang punggung sistem yang sering abai terhadapnya.

    Sifat jadah bakar yang “lengket dan panas” mengandung filosofi mendalam. Lengket mencerminkan solidaritas rakyat yang sulit dipisahkan oleh kepentingan pragmatis penguasa. Panas melambangkan energi perlawanan yang tak mudah padam meskipun kekuasaan berusaha meredamnya. 

    Filosofi ini menjadi gambaran betapa rakyat, dengan kekuatan persatuan dan daya tahan, mampu menghasilkan energi besar untuk perubahan. Bayangkan energi itu menyatu dalam gelombang aksi yang mengguncang jalanan, menuntut keadilan dan transparansi. Pertanyaannya, sampai kapan kekuasaan dapat mempermainkan kepentingan rakyat?

    Kontribusi pajak dari jadah bakar mungkin tampak kecil, tetapi tetap nyata. Hal itu menegaskan bahwa ekonomi rakyat berperan penting menopang struktur yang kerap tidak memberi perhatian padanya. Bila kontribusi ini disalahgunakan atau tidak kembali untuk kepentingan masyarakat, energi yang sama berpotensi menjadi ancaman bagi kekuasaan. Sejarah menunjukkan, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, api perlawanan dapat meluluhlantakkan struktur yang timpang.

    Pada era digital dengan arus informasi yang deras, kesadaran kolektif semakin menguat. Jadah bakar hadir sebagai simbol kuliner yang tidak hanya menyenangkan lidah, tetapi juga menyulut semangat perlawanan. Ia tumbuh di luar lingkar kekuasaan formal, namun mampu menggerakkan perubahan. Ketika gelombang protes mengguncang kota-kota besar, jadah bakar menjadi energi yang lengket menyatukan sekaligus panas mengobarkan.

    Jadah bakar mengingatkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu bersumber dari struktur formal yang megah. Ia justru lahir dari hal-hal sederhana yang mengandung makna mendalam, dari akar rumput yang teguh menopang dan sewaktu-waktu mampu mengguncang tatanan. Dalam konteks ini, jadah bakar menjadi bentuk perlawanan rasa, kuliner yang menghadirkan narasi tandingan terhadap hegemoni kekuasaan.

    Kita hidup dalam zaman ketika ketidakadilan sering diselimuti jargon pembangunan dan stabilitas. Namun di balik retorika itu, api perlawanan rakyat terus menyala. Jadah bakar adalah salah satu manifestasinya: simbol kolektif yang menuntut agar kekuasaan berpihak kepada mereka yang termarginalkan. Ia menolak anggapan bahwa rakyat hanyalah objek kebijakan, sebaliknya menegaskan rakyat sebagai subjek perubahan.

    Jika penguasa lupa bahwa legitimasi bersumber dari rakyat, maka jadah bakar akan terus menjadi simbol energi perlawanan. Ia menyediakan kekuatan bagi mereka yang menolak menjadi penonton pasif dalam panggung kekuasaan. Jadah bakar bukan semata hidangan tradisional, melainkan pernyataan sikap bahwa energi rakyat tidak terbatas, dan perjuangan untuk keadilan adalah hidangan yang tak pernah basi.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Di tengah tuntutan yang kian kompleks, jadah bakar berdiri sebagai pengingat bahwa kekuatan sejati lahir dari kesederhanaan yang membumi. Ia mewakili suara akar rumput yang tidak pernah surut meski berhadapan dengan arus besar narasi kekuasaan. 

    Dengan tekstur gosong yang melekat di jemari dan aroma kuat yang membangkitkan ingatan kolektif, jadah bakar menjembatani tradisi dan perlawanan modern. Ia menegaskan bahwa kuliner bisa menjadi bahasa universal perlawanan.

    Lebih jauh, jadah bakar juga melawan arus homogenisasi budaya yang didorong kekuatan ekonomi global. Ia mempertegas identitas lokal, sebuah resistensi terhadap upaya menghapus keunikan kultural. Dalam kerangka ini, jadah bakar merupakan praksis kultural yang menegaskan eksistensi komunitas. Penjual sederhana di pinggir jalan bukan sekadar pedagang, melainkan penjaga api perlawanan yang sering tak terlihat, tetapi nyata dampaknya.

    Melalui perspektif postkolonial, jadah bakar dapat dimaknai sebagai dekonstruksi narasi dominan yang diwariskan struktur kolonial maupun neokolonial. Ia menegaskan kedaulatan kuliner lokal dan menunjukkan bahwa tradisi Nusantara memiliki daya untuk menantang arus globalisasi. Dengan segala keterbatasan modal dan infrastruktur, jadah bakar membuktikan bahwa ekonomi rakyat tidak dapat diremehkan. Ia mencerminkan ekonomi perlawanan yang tumbuh dari bawah.

    Dalam dinamika sosial kontemporer, jadah bakar juga menghadirkan metafora solidaritas horizontal yang dibutuhkan dalam perjuangan kolektif. Lengketnya melambangkan kohesi sosial yang menyatukan rakyat menghadapi tantangan bersama, sementara panasnya adalah simbol semangat yang tidak pernah padam. Ketika rakyat bersatu menuntut keadilan, api jadah bakar menjadi energi penggerak yang otentik, lahir dari rakyat kecil dan berubah menjadi gerakan besar.

    Selain itu, jadah bakar berbicara tentang ketahanan budaya. Di tengah modernitas yang cepat mengikis tradisi, ia mengingatkan bahwa akar budaya bisa menjadi sumber kekuatan besar. Tradisi tidak statis, melainkan hidup dan adaptif. Penjual jadah bakar di pasar tradisional adalah figur penjaga tradisi yang jarang disorot kamera, tetapi memiliki peran vital dalam menjaga kesinambungan kultural.

    Lebih dalam lagi, jadah bakar merepresentasikan kritik terhadap sistem yang kerap melupakan kebutuhan rakyat. Secara semiotik, ia adalah bentuk protes diam terhadap ketimpangan. Setiap gigitan yang panas dan lengket mengandung narasi perlawanan, menegaskan bahwa rakyat memerlukan kebijakan yang berpihak sekaligus pengakuan atas kekuatannya. Perlawanan dapat dimulai dari hal-hal sederhana: dari dapur, jalanan, hingga komunitas kecil.

    Dalam konstelasi kekuasaan, jadah bakar menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu berada di atas, tetapi tumbuh dari bawah. Ia mengajarkan bahwa kuasa sesungguhnya ada pada energi kolektif rakyat yang tidak bisa dipadamkan oleh strategi kekuasaan mana pun.

    Jadah bakar melawan dengan caranya sendiri melalui rasa, aroma, dan solidaritas yang dibangkitkannya. Ia hanyalah makanan sederhana, tetapi sekaligus energi jiwa yang membakar semangat perubahan. Dalam setiap potongan yang dibakar dengan ketulusan, tersimpan narasi besar perlawanan rakyat yang tidak pernah padam.

    Dengan demikian, jadah bakar tidak sekadar makanan tradisional. Ia adalah simbol revolusi kuliner yang mengobarkan semangat rakyat. Keberadaannya membuktikan bahwa kekuatan rakyat hadir di mana-mana: di pasar, warung, hingga tempat nongkrong sederhana yang jauh dari kemewahan. Salam persatuan, jadah bakar bersatu tidak dapat dikalahkan.

    Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.

    Kabar Trenggalek - Opini

    Editor:Redaksi

    ADVERTISEMENT
    SABGamehouse