Filosofi Bubur Suro, Disantap Saat Tahun Baru Islam

KBRT - Tahun Baru Islam menjadi momen untuk menyantap Bubur Suro. Bubur Suro merupakan kuliner tradisional yang kaya akan makna dan sejarah, khususnya di kalangan masyarakat Jawa.  

Bubur Suro bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari tradisi yang diwariskan turun-temurun. Hidangan ini menjadi simbol rasa syukur dan harapan akan keberkahan di tahun yang baru. Penyajiannya pun tidak sembarangan, ada waktu-waktu khusus yang dianggap tepat untuk menikmati bubur suro.  

Waktu Penyajian Bubur Suro  

Secara tradisional, bubur suro disajikan pada malam menjelang 1 Suro (1 Muharram) dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Namun, penyajiannya tidak terbatas pada malam itu saja. Masyarakat juga sering menyajikan bubur suro sepanjang bulan Muharram.  

Selain itu, bubur suro juga hadir dalam momen-momen penting lainnya, seperti malam Jumat Kliwon, acara syukuran, atau peringatan hari besar Islam. Hal ini menunjukkan bahwa bubur suro memiliki nilai yang sakral dan istimewa bagi masyarakat Jawa.  

Penyajian bubur suro pada waktu-waktu tertentu ini bukan tanpa alasan. Masyarakat percaya bahwa dengan menyajikan bubur suro, mereka dapat memperoleh berkah dan keberuntungan di tahun yang baru.  

Filosofi Bubur Suro  

Bubur Suro bukan sekadar hidangan, melainkan simbol rasa syukur kepada Tuhan atas berkah dan rezeki yang diterima sepanjang tahun. Ia juga menjadi sarana introspeksi diri dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.  

Setiap bahan dalam bubur suro memiliki makna simbolis tersendiri. Beras melambangkan kemakmuran, santan melambangkan kelembutan dan keharmonisan, sementara tujuh jenis kacang mewakili tujuh hari dalam seminggu yang diberkahi.  

Dengan memahami makna simbolis dari setiap bahan, kita dapat semakin menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi bubur suro. Bubur suro bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup masyarakat Jawa.  

ADVERTISEMENT

Komposisi dan Rasa Bubur Suro  

Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan santan, rempah-rempah tradisional seperti serai dan daun salam, menghasilkan rasa gurih yang khas dan berbeda dari bubur biasa. Keunikannya terletak pada beragam lauk pelengkap yang menyertainya.  

Lauk pelengkap bubur suro biasanya terdiri dari tujuh jenis kacang-kacangan (misalnya kacang tanah, kedelai, hijau, mede), tahu, orek tempe atau teri, telur, suwiran jeruk bali, dan buah delima. Kombinasi ini menciptakan cita rasa yang kaya dan kompleks.  

Variasi regional juga mempengaruhi komposisi dan rasa bubur suro. Setiap daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan bubur suro, baik dari segi bahan maupun cara penyajian.  

Sejarah dan Asal-usul Bubur Suro  

Ada beberapa versi mengenai asal-usul bubur suro. Salah satu versi mengaitkannya dengan masa pemerintahan Sultan Agung di Jawa, sebagai refleksi rasa syukur masyarakat. Versi lain menghubungkannya dengan peringatan keselamatan Nabi Nuh AS setelah banjir besar.  

Namun, yang pasti, tradisi ini telah berlangsung turun-temurun. Bubur suro menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Tahun Baru Islam di kalangan masyarakat Jawa.  

Terlepas dari asal-usulnya, bubur suro memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Hidangan ini menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Jawa.  

Bubur Suro Bukan Sesajen  

Penting untuk ditekankan bahwa bubur suro bukanlah sesajen atau ritual animistik. Ia merupakan tradisi kuliner yang sarat makna religius dan kultural. Bubur suro adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan dan harapan akan keberkahan di tahun yang baru. Hidangan ini juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama.  

Dengan meluruskan pemahaman tentang bubur suro, kita dapat menghindari kesalahpahaman dan menghargai tradisi ini sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Bubur Suro merupakan tradisi kuliner Jawa yang unik, kaya akan makna simbolis, dan memiliki cita rasa yang khas. Ia mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa dalam menyambut Tahun Baru Islam.