KBRT – Dulu yang ia pegang adalah jarum suntik dan selang infus pasien, kini yang digenggamnya adalah gunting dan sisir. Dua alat berbeda, namun sama-sama menuntut ketelitian dan kehati-hatian.
Anton Wigunawan (34), mantan perawat asal Desa Pogalan, Kabupaten Trenggalek, kini menjalani hidup baru sebagai tukang pangkas rambut. Bukan di ruang berpendingin rumah sakit, melainkan di kursi sederhana miliknya, di mana canda tawa pelanggan menggantikan bunyi alat medis.
“Jadi perawat di rumah sakit tidak seindah bayangan orang, tekanannya tinggi, gajinya juga pas-pasan. Kesehatan badan sendiri malah sering tak terawat,” ujar Anton sambil terus menata rambut pelanggannya dengan tenang.
Selepas lulus SMA Negeri 2 Trenggalek pada 2009, Anton melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Kota Kediri. Awalnya, ia hanya ikut-ikutan teman yang memilih jurusan keperawatan. Namun, justru ia yang bertahan hingga menyelesaikan studi dan praktik profesi di rumah sakit.
“Lima tahun saya kuliah, satu tahunnya itu di rumah sakit, semacam PKL profesi. Jadi sudah seperti kerja. Selesai tahun 2015, saya sempat kerja di rumah sakit di Pacitan, lalu ke klinik di Blitar, dan terakhir di rumah sakit swasta di Tulungagung,” tuturnya.
Tahun-tahun itu dijalaninya dengan rutinitas padat. Ia merawat banyak pasien sekaligus, dari pagi hingga malam, dengan tanggung jawab besar dan tekanan tinggi.
“Antara tahun 2015–2018 saya kerja di rumah sakit, penghasilan saya seakan cuma habis buat transportasi. Meskipun perawat itu masih dipandang mulia, yang saya rasakan tidak seindah itu,” ungkapnya.
Anton menyebut, profesi perawat menuntut kesabaran luar biasa. Ia harus melayani pasien dengan karakter berbeda-beda dan menghadapi keluarga pasien yang terkadang emosional. Semua itu ia jalani sambil menahan lelah dan tetap tersenyum.
“Sampai tahun 2018, gaji saya waktu itu Rp 1,1 juta per bulan, tapi masih kepotong banyak untuk keperluan administrasi. Kenaikan gaji juga tidak seberapa,” kenangnya.
Kelelahan yang menumpuk membuat Anton mulai mencari jalan lain. Ia sempat menyambi menjadi fotografer dan perlahan membeli peralatan cukur untuk belajar memangkas rambut secara otodidak.
“Akhirnya waktu hari raya tahun 2018, saya jatuh sakit dan opname karena kelelahan,” katanya, menatap sebentar ke arah gunting yang kini jadi sumber penghidupannya.
Setelah sembuh, Anton memutuskan berhenti dari profesinya sebagai perawat. Ia memantapkan hati menekuni dunia barber yang sebelumnya hanya ia jalani sebagai hobi.
Bermodal ketelatenan dan video-video di YouTube, Anton belajar teknik memotong rambut dari dasar. Awalnya, ia mematok harga Rp 7.000 per pelanggan. Kini, setelah enam tahun berjalan, tarifnya naik menjadi Rp 20.000 dengan pelanggan tetap yang terus bertambah.
“Sekarang dua pelanggan saja sudah sama hasilnya seperti kerja seharian jadi perawat dulu. Saya tidak menyesal habiskan banyak biaya buat kuliah, karena sekarang saya sudah merasa nyaman,” ucapnya tersenyum.
Di ruang pangkas kecil itu, Anton menemukan hal yang tak ia dapatkan di ruang rumah sakit: ketenangan dan kebahagiaan sederhana dari tawa pelanggan dan cerita yang mengalir di sela bunyi guntingnya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz