Kabar Trenggalek – Kretek adalah rokok khas Indonesia yang tercipta dari kreativitas para leluhur bangsa Indonesia. Sosok Haji Djamhari dari Kabupaten Kudus menjadi penemu kretek. Berdasarkan buku “Kretek: Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia”, sejarah kretek bermula ketika Haji Djamhari menderita penyakit bengek (sesak nafas/asma). Kemudian, ia mengoleskan minyak cengkih sebagai langkah pengobatan.
Setelah Haji Djamhari merasa kondisinya membaik, ia memotong cengkih menjadi bagian kecil-kecil dan mencampurkannya dengan racikan tembakau. Haji Djamhari berhasil mengobati bengek hingga tidak kambuh lagi. Mulai dari situlah, Haji Djamhari berhasil memadukan dua komoditas hingga tercipta sebuah produk asli Indonesia bernama kretek.
Kenapa disebut rokok kretek? Sebab, ketika rokok kretek dihisap, cengkih yang terbakar mengeluarkan suara “keretek keretek”. Sehingga, rokok hasil kreativitas Haji Djamari dikenal dengan sebutan rokok kretek.
Kretek: Kombinasi Seksi Tembakau dan Cengkih
Kita perlu memaknai bahwa kretek tidak hanya perpaduan dari tembakau dan cengkih. Tembakau dan cengkih yang dipadukan menjadi kretek, bisa dibilang sebagai perpaduan yang seksi. Kenapa seksi? Jelas, karena tembakau dan cengkih menjadi incaran para penjajah untuk menguasai bangsa Indonesia. Maka dari itu, kita perlu memahami tembakau dan cengkih serta bagaimana hubungannya dengan sejarah penjajahan terhadap bangsa Indonesia.
Dimulai dari sejarah tembakau (Nicotiana tabacum), pada awal abad XVII, Belanda mulai menanam secara besar-besaran tembakau di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Perhitungan tanaman ini akan menjadi komoditas berharga terbukti benar adanya. Laporan P. De Kat Angelino dalam Voorstenlandsche Tabaksenquete (1929) mengungkapkan, meskipun tembakau bukan tanaman asli Indonesia, sejak diperkenalkan sudah memiliki pertalian khusus dengan tanah di Indonesia.
Tembakau tak hanya menjadi komoditas utama pemerintah kolonial, tetapi juga telah mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Di era sistem Tanam Paksa yang diberlakukan Gubernur Hindia Belanda Johannes van den Bosch sejak 1830, tembakau menjadi salah satu tanaman ekspor yang wajib ditanam penduduk Indonesia.
Belanda mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari penerapan Tanam Paksa. Pendapatan yang diperoleh dari tembakau saja yang mulanya senilai 180.000 gulden, meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada 1840, dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845.
Seorang penulis berkebangsaan Belanda seperti dikutip oleh J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy menyebut perubahan yang diakibatkan pemberlakuan sistem Tanam Paksa ini terjadi tiba-tiba dan mendalam, seperti keajaiban: “Jawa melimpahkan kekayaan demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir.”
Berakhirnya Tanam Paksa adalah awal pengusahaan tembakau dan industri kretek oleh penduduk Indonesia. pada masa-masa ini, pengusaha pribumi harus berjuang menghadapi berbagai diskriminasi kebijakan ekonomi pemerintah kolonial.
Bagaimana dengan sejarah cengkih? Cengkih (Syzygium aromaticum) adalah tumbuhan asli Indonesia, dan hanya bisa tumbuh serta berkembang baik di Indonesia. Rempah berbentuk seperti kuku ini telah dikenal luas sejak ribuan tahun lalu. Orang China mengenal sebagai rempah kuku (tianghang), orang Barat menyebut dengan cloves dari kata claw merujuk bentuk cengkeh yang menyerupai cakar.
Keberadaan cengkih ini (bersama pala) yang menjadi incaran para penjajah dari China, Arab, dan Eropa, untuk menguasai Indonesia. Kolonialisme yang sesungguhnya dimulai dari pencarian, penemuan, dan penguasaan tanaman eksotik dari Kepulauan Maluku ini. Selama berabad-abad, komoditas berharga diperebutkan oleh bangsa-bangsa asing.