KBRT – Bulan Suro dalam kalender Jawa dikenal sebagai waktu sakral bagi masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan spiritualitas. Salah satu kebiasaan yang masih dijaga adalah kegiatan mencuci benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, dan pedang.
Ilham Sulistiono, pecinta budaya tosan aji asal Watulimo, setiap tahunnya meluangkan waktu di Bulan Suro untuk merawat koleksi pusakanya. Pria yang akrab disapa Sulis ini mengatakan bahwa mencuci pusaka bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tapi juga sebagai upaya menyelaraskan energi yang terkandung dalam benda tersebut.
“Mencuci pusaka itu tujuannya ada dua, yang pertama melestarikan budaya, kemudian yang kedua menyelaraskan energi yang ada pada dalam pusakanya itu sendiri,” ujar Sulis saat ditemui di rumahnya, Sabtu (28/06/2025).
Menurut Sulis, Bulan Suro identik dengan momen bersih-bersih karena dianggap sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa. Meski begitu, ia menegaskan bahwa pencucian pusaka tidak mutlak harus dilakukan di bulan tersebut.
“Seharusnya tidak harus Bulan Suro, tapi identik Bulan Suro karena sama nenek moyang pada Bulan Suro pasti bersih-bersih karena tahun barunya Jawa. Menurut tradisi Jawa ya pas Bulan Suro pasnya tanggal satu kalau harinya Kliwon, karena Kliwon itu angkara kasih atau hari kasih sayang,” tambahnya.

Sulis menyebut bahwa tidak ada aturan baku kapan pusaka harus dicuci. Bagi dirinya, pusaka yang mulai berkarat atau terlihat kotor sudah cukup menjadi pertanda untuk dibersihkan. Dalam proses pencucian, ia biasanya menyiapkan sejumlah bahan seperti dupa, bunga tujuh rupa, dan minyak wangi, meski bahan utama yang wajib ada adalah air kelapa dan jeruk nipis.
“Alatnya dupa, bunga tujuh rupa, kemudian minyak wangi, tapi tidak harus. Yang harus ada itu ya jeruk nipis sama air kelapa,” jelas Sulis.
Sebelum proses pencucian, Sulis biasanya melakukan beberapa ritual seperti nyekar ke makam leluhur dan mandi suci. Hal itu, menurutnya, penting untuk menjaga kehormatan terhadap energi spiritual dalam pusaka.
“Kalau asal cuci itu efeknya biasanya orangnya sakit tapi tidak langsung, namanya benda pusaka memang diistimewakan dari dulu. Kalau kita hanya asal-asalan merawat, ya ada efeknya,” ungkapnya.
Bagi Sulis, setiap pusaka menyimpan energi berupa doa dan harapan dari para leluhur yang menciptakannya lewat tirakat panjang. Energi tersebut, lanjutnya, biasanya disesuaikan dengan fungsi pusaka saat digunakan di masa lalu.
“Selain pecinta tosan aji, pusaka itu terdapat energi yaitu doa atau harapan yang diwujudkan ke sebuah benda karena di sini ada sebuah laku tirakat yang dituangkan dalam pusaka,” terang Sulis.
Saat ini, Sulis merawat ratusan benda pusaka di rumahnya. Namun, tidak semua pusaka ia cuci sekaligus. Ia hanya merawat dan mencuci pusaka yang benar-benar membutuhkan perawatan.
“Tidak semuanya dicuci karena ya saya hanya pilih yang sudah waktunya dicuci. Kalau saya, yang dicuci khusus yang kotor karena korosi, kalau yang tidak korosi ya hanya saya bersihkan debunya saja,” tutupnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz