KBRT – Hadapi musim kemarau, petani Desa Ngadirenggo, Kecamatan Pogalan tetap menanam padi dengan mengandalkan aliran parit irigasi dari Bendungan Bagong. Namun, ketiadaan petugas yang mengatur dan membagi aliran air membuat sebagian petani lanjut usia kewalahan.
Suhadak (79), petani asal Desa Sambirejo yang bertetangga dengan Ngadirenggo, mengaku kerepotan karena harus mengatur air sawahnya sendiri. Dengan kondisi fisik yang sudah lemah, ia merasa kewalahan harus siaga setiap saat saat giliran air datang.
“Sudah lebih dari 2 tahun air di sini tidak ada petugas yang mengelola. Sebenarnya sudah diusulkan, tapi petugas yang ditunjuk selalu tidak mau. Padahal petani siap membayar,” ujarnya.
Saat ditemui sedang memperbaiki galengan sawahnya yang rusak, Suhadak mengaku tetap memaksakan diri bekerja di sawah meski sudah divonis menderita hernia.
“Untuk mengatur air di sawah itu berat. Tapi tetap saya kerjakan sendiri,” ungkapnya.
Meski menghadapi berbagai kesulitan, ia menyebut hasil panen padi musim kemarau sebelumnya lumayan bagus, berkat ketersediaan pupuk yang lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Dulu sempat 1 karung pupuk dibagi tiga orang. Sekarang sudah mulai normal,” kenangnya.
Pada panen kali ini, sawah seluas 150 ru miliknya menghasilkan 1,5 ton gabah yang langsung dijual. “Panen kemarin harga gabah masih Rp5.800 per kilogram, sekarang sudah naik jadi Rp6.400. Semoga kemarau kali ini hama tidak banyak,” jelasnya.
Ia menambahkan tahun ini mendapat 2 karung pupuk urea dan 1 karung phonska bersubsidi untuk 150 ru sawahnya.
“Kalau bisa, pengelola irigasi di sini segera dibentuk. Petani pasti akan sangat terbantu,” tandasnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz