Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Mengenal Lebih Dalam Budaya Kenduri dan Selamatan di Trenggalek

  • 16 Apr 2025 15:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Sebagian kalangan muslim Jawa memiliki tradisi mengadakan ken­du­ri dan selamatan (wilujengan), sebagai apresiasi atas semangat ber­se­dekah dari ajaran Islam. 

    Dalam Ensiklopedi Kebudayaan Jawa (20­05­) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kenduren adalah upa­cara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh anu­gerah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.

    Dalam hal ini kenduren mirip dengan tasyakuran. Acaranya bersifat personal. Un­dangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan sejawat, dan tetangga. Me­reka berkumpul untuk berbagi suka.

    Suasana santai sambil disertai de­­ngan pembicaraan yang bermanfaat serta berbagai suri tauladan yang bi­­sa dicontoh. 

    Hidangan sedekah dalam kenduren atau wilujengan me­nu­nya lebih bebas. Hampir tidak ada kewajiban menu tertentu, se­hing­ga terbangun suasana akrab, penuh silaturahmi, berbagi suka dan me­nun­jukkan rasa syukur kepada Tuhan.

    Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, kenduri selamatan dalam ritus orang Islam Jawa memiliki arti pen­ting, dan menjadi bagian tidak terpisah dari sistem religi orang Jawa. Un­dangan bersifat bebas, yang umumnya dilaksanakan di malam hari. J

    ika ada acara yang bersamaan biasanya sebagian melaksanakan se­su­dah shalat Ashar mendekati Maghrib, lalu lainnya sesudah Isya’ kalau ma­sih ada yang bersamaan, sebagian memberi alokasi sesudah maghrib.

    Tempatnya mengambil lokasi pada serambi atau pendapa (aula) ru­mah. Jika ruang kurang mencukupi, maka benda-benda dalam ruangan dialihkan terlebih dahulu. Selamatan kadang mengambil tem­pat di serambi masjid atau halaman luar ruangan.

    Hidangan yang di­sediakan umumnya adalah nasi tumpeng dengan lauk pauknya, dan untuk hal-hal khusus, seperti syukuran atau kiriman, memakai nasi tum­peng rasul (tumpeng yang sudah dikasih garam dan santan kelapa, sejenis nasi uduk), dilengkapi dengan lauk daging ayam yang dimasak secara utuh (ingkung). 

    Disebut tumpeng rasul (metua dalam kang lempeng= le­watilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), karena memiliki ni­lai simbolis hidup dengan mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasul (Utusan Tuhan), dengan ciri khas adalah ingkung (inggala njungkung atau bersujud), yakni beribadah sepenuhnya kepada Allah.

    Disebut nasi uduk, yang sebenarnya adalah nasi wudlu’, karena selama proses memasaknya, maka orang (perempuan) yang memasak dalam keadaan suci, dengan berwudlu’ terlebih dahulu. Selain itu juga diberi suguhan air teh manis, paling tidak air kemasan, dan bagi yang mampu masih di­beri suguhan ala kadarnya.

    Pada zaman sekarang, pada acara selamatan tertentu, seperti ulang ta­hun misalnya, terkadang juga diberi suguhan roti dan kue ulang tahun, se­bagaimana berlaku pada masyarakat Barat. Semua hidangan tersebut, oleh tuan rumah dimaksudkan sebagai shadaqah, yang diberi­kan kepada me­reka yang diundang dan tetangga terdekat di sekitarnya.

    Suguhan dihidangkan sejenak setelah para tamu undangan datang, duduk bersila, melingkari suguhan. Kemudian tuan rumah atau yang me­­wakili, memberikan sambutan dalam bentuk menyerahkan upacara ke­­pada ulama atau sesepuh (yang dituakan) setempat, sambil me­nye­but­kan apa yang menjadi kepentingan dari acara kenduri tersebut. 

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Se­te­lah itu, yang diserahi untuk memimpin upacara baru memulai de­ngan menyatakan kembali apa yang menjadi kepentingan tuan rumah, se­­hubungan dengan dilaksanakannya upacara tersebut. 

    Selain itu juga me­­mintakan maaf, jika ada kekurangan dan sambutan yang kurang me­ma­dai. Baru kemudian, upacara diteruskan dengan dzikir serta ung­kapan-ungkapan wirid dari beberapa ayat al-Qur’an serta bacaan lain yang berkaitan dengan keperluan dari acara tersebut.

    Upacara ditutup de­ngan pembacaan doa, sebagaimana yang diinginkan oleh tuan rumah, sedangkan para tamu undangan mengamini sambil mengangkat tangan dalam posisi berdoa, dari doa tersebut. 

    Setelah doa selesai, kemudian tuan rumah mempersilahkan para tamunya untuk menikmati minuman dan santapan atau suguhan selain tum­peng.

    Sementara itu, nasi tumpeng dan semua lauk pauknya di­ba­gi­kan kepada para tamu yang hadir. Tetangga terdekat yang ber­halangan ha­dir, biasanya tetap diberi bagian, yang dititipkan pada tetangga dekat­­nya.

    Sebagian dari nasi tumpeng disantap di tempat dengan tidak meng­gu­nakan sendok (muluk), sedangkan sebagian sisanya yang lain, di­bung­kus untuk dibawa pulang. 

    Jika tidak tersedia bungkusan, maka biasa­nya tuan rumah meminjamkan piring atau wadah lain untuk mem­bawa pulang nasi kenduri, yang oleh masyarakat disebut sebagai “nasi ber­kat”.

    Disebut sebagai “nasi berkat”, karena memiliki dua konotasi makna dan tujuan. Pertama, bahwa nasi tumpeng tersebut dihidangkan setelah ada ritual dan doa, sehingga diharapkan keberkahan dari Allah diberikan ke­pada mereka yang ikut berdoa, atau bagi mereka yang menyantap hi­dangan tersebut. 

    Kedua, bahwa berkat berasal dari bahasa Arab “barkah” yang maknanya bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Fir­man Allah, bahwa siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya.

    Se­dangkan kenduri adalah media tasyakur tersebut, sehingga ada ha­ra­p­an Allah memberikan tambahan keberkahan dan pahala serta kese­jah­teraan bagi tuan rumah dan yang diundang.

    Dengan penjelasan tersebut nampak bahwa inti dari kenduri adalah ber­syukur kepada Allah, dan menyampaikan permohonan (doa) ke­baikan kepada Allah, disertai dengan memberikan sesuatu, yakni hi­dang­an sebagai shadaqah kepada orang lain.

    Memberikan sesuatu kepada orang lain, merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, karena didalamnya ter­da­pat manfaat yang sangat besar.

    Kabar Trenggalek - Edukasi

    Editor:Zamz

    ADVERTISEMENT
    Lodho Ayam Pak Yusuf