KBRT - Sebagian kalangan muslim Jawa memiliki tradisi mengadakan kenduri dan selamatan (wilujengan), sebagai apresiasi atas semangat bersedekah dari ajaran Islam.
Dalam Ensiklopedi Kebudayaan Jawa (2005) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kenduren adalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Dalam hal ini kenduren mirip dengan tasyakuran. Acaranya bersifat personal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan sejawat, dan tetangga. Mereka berkumpul untuk berbagi suka.
Suasana santai sambil disertai dengan pembicaraan yang bermanfaat serta berbagai suri tauladan yang bisa dicontoh.
Hidangan sedekah dalam kenduren atau wilujengan menunya lebih bebas. Hampir tidak ada kewajiban menu tertentu, sehingga terbangun suasana akrab, penuh silaturahmi, berbagi suka dan menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan.
Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, kenduri selamatan dalam ritus orang Islam Jawa memiliki arti penting, dan menjadi bagian tidak terpisah dari sistem religi orang Jawa. Undangan bersifat bebas, yang umumnya dilaksanakan di malam hari. J
ika ada acara yang bersamaan biasanya sebagian melaksanakan sesudah shalat Ashar mendekati Maghrib, lalu lainnya sesudah Isya’ kalau masih ada yang bersamaan, sebagian memberi alokasi sesudah maghrib.
Tempatnya mengambil lokasi pada serambi atau pendapa (aula) rumah. Jika ruang kurang mencukupi, maka benda-benda dalam ruangan dialihkan terlebih dahulu. Selamatan kadang mengambil tempat di serambi masjid atau halaman luar ruangan.
Hidangan yang disediakan umumnya adalah nasi tumpeng dengan lauk pauknya, dan untuk hal-hal khusus, seperti syukuran atau kiriman, memakai nasi tumpeng rasul (tumpeng yang sudah dikasih garam dan santan kelapa, sejenis nasi uduk), dilengkapi dengan lauk daging ayam yang dimasak secara utuh (ingkung).
Disebut tumpeng rasul (metua dalam kang lempeng= lewatilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), karena memiliki nilai simbolis hidup dengan mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasul (Utusan Tuhan), dengan ciri khas adalah ingkung (inggala njungkung atau bersujud), yakni beribadah sepenuhnya kepada Allah.
Disebut nasi uduk, yang sebenarnya adalah nasi wudlu’, karena selama proses memasaknya, maka orang (perempuan) yang memasak dalam keadaan suci, dengan berwudlu’ terlebih dahulu. Selain itu juga diberi suguhan air teh manis, paling tidak air kemasan, dan bagi yang mampu masih diberi suguhan ala kadarnya.
Pada zaman sekarang, pada acara selamatan tertentu, seperti ulang tahun misalnya, terkadang juga diberi suguhan roti dan kue ulang tahun, sebagaimana berlaku pada masyarakat Barat. Semua hidangan tersebut, oleh tuan rumah dimaksudkan sebagai shadaqah, yang diberikan kepada mereka yang diundang dan tetangga terdekat di sekitarnya.
Suguhan dihidangkan sejenak setelah para tamu undangan datang, duduk bersila, melingkari suguhan. Kemudian tuan rumah atau yang mewakili, memberikan sambutan dalam bentuk menyerahkan upacara kepada ulama atau sesepuh (yang dituakan) setempat, sambil menyebutkan apa yang menjadi kepentingan dari acara kenduri tersebut.
Setelah itu, yang diserahi untuk memimpin upacara baru memulai dengan menyatakan kembali apa yang menjadi kepentingan tuan rumah, sehubungan dengan dilaksanakannya upacara tersebut.
Selain itu juga memintakan maaf, jika ada kekurangan dan sambutan yang kurang memadai. Baru kemudian, upacara diteruskan dengan dzikir serta ungkapan-ungkapan wirid dari beberapa ayat al-Qur’an serta bacaan lain yang berkaitan dengan keperluan dari acara tersebut.
Upacara ditutup dengan pembacaan doa, sebagaimana yang diinginkan oleh tuan rumah, sedangkan para tamu undangan mengamini sambil mengangkat tangan dalam posisi berdoa, dari doa tersebut.
Setelah doa selesai, kemudian tuan rumah mempersilahkan para tamunya untuk menikmati minuman dan santapan atau suguhan selain tumpeng.
Sementara itu, nasi tumpeng dan semua lauk pauknya dibagikan kepada para tamu yang hadir. Tetangga terdekat yang berhalangan hadir, biasanya tetap diberi bagian, yang dititipkan pada tetangga dekatnya.
Sebagian dari nasi tumpeng disantap di tempat dengan tidak menggunakan sendok (muluk), sedangkan sebagian sisanya yang lain, dibungkus untuk dibawa pulang.
Jika tidak tersedia bungkusan, maka biasanya tuan rumah meminjamkan piring atau wadah lain untuk membawa pulang nasi kenduri, yang oleh masyarakat disebut sebagai “nasi berkat”.
Disebut sebagai “nasi berkat”, karena memiliki dua konotasi makna dan tujuan. Pertama, bahwa nasi tumpeng tersebut dihidangkan setelah ada ritual dan doa, sehingga diharapkan keberkahan dari Allah diberikan kepada mereka yang ikut berdoa, atau bagi mereka yang menyantap hidangan tersebut.
Kedua, bahwa berkat berasal dari bahasa Arab “barkah” yang maknanya bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Firman Allah, bahwa siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya.
Sedangkan kenduri adalah media tasyakur tersebut, sehingga ada harapan Allah memberikan tambahan keberkahan dan pahala serta kesejahteraan bagi tuan rumah dan yang diundang.
Dengan penjelasan tersebut nampak bahwa inti dari kenduri adalah bersyukur kepada Allah, dan menyampaikan permohonan (doa) kebaikan kepada Allah, disertai dengan memberikan sesuatu, yakni hidangan sebagai shadaqah kepada orang lain.
Memberikan sesuatu kepada orang lain, merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, karena didalamnya terdapat manfaat yang sangat besar.
Kabar Trenggalek - Edukasi
Editor:Zamz