KBRT - Di antara deru mesin press dan efisiensi produksi modern, tangan-tangan kasar Seloso (58) masih sibuk mencetak bata dengan cara lama. Di bawah terik matahari Dusun Geneng Sanan, Desa Sukorejo, Kecamatan Gandusari, Trenggalek, ia tak henti meracik tanah, mencetak, dan menyusun bata satu per satu.
Bukan karena menolak kemajuan teknologi, tapi karena yakin ada nilai yang tak tergantikan dari bata buatan tangan. Sentuhan tradisional itu, kata Seloso, justru menjadi daya tarik tersendiri di mata para pembeli.
“Bata begini lebih laku, karena kalau mau dipotong tidak bakal pecah. Berbeda dengan bata press yang gampang pecah jika dipotong,” katanya sembari membasuh tangannya yang kotor oleh tanah basah.
Bagi Seloso, bata bukan hanya soal bangunan, tapi juga tentang rasa percaya dari para tukang bangunan. Bata tradisional ciptaannya bisa dipotong dengan cetok tanpa mudah retak, berbeda dengan bata cetakan mesin yang kaku dan mudah pecah.
Ia lalu membandingkan ketebalan hasil cetakannya: lima sentimeter, lebih tebal dibanding bata press yang hanya empat sentimeter. Perbedaan ini tak hanya tampak secara visual, tapi juga berdampak pada kekuatan dan daya tahan bata saat digunakan.
“Bata buatan saya tebalnya 5 sentimeter, kalau bata press buatan orang sini hanya 4 sentimeter,” terangnya.
Bukan cuma unggul dari segi ketahanan, harga bata tradisional juga jauh lebih bersahabat. Untuk 1.000 buah bata, ia hanya mematok harga Rp400.000. Bandingkan dengan bata press yang bisa mencapai Rp2.000 per biji.
Tak berhenti di situ, proses pembakaran bata pun memperlihatkan keunggulan bata tradisional. Di Nglayur, para pembuat bata biasa menitipkan cetakan mereka kepada pembuat genteng untuk dijadikan alas pembakaran. Bata press tak tahan proses ini—bisa hancur jika dibakar lebih dari dua kali. Sebaliknya, bata tradisional bisa dibakar hingga empat kali tanpa retak.
Namun, romantisme produksi tradisional ini perlahan memudar. Semakin sedikit warga yang bertahan menjadi pembuat bata. Anak-anak dari para perajin lebih memilih jalan lain, meninggalkan tradisi yang telah menghidupi keluarga mereka selama puluhan tahun.
“Tapi sekarang pembuat bata sudah mulai berkurang, selain bahan pembuatan yang semakin sulit didapat. Anak-anak dari pembuat bata juga tidak mau meneruskan usaha orang tuanya,” ujar Seloso dengan nada lirih.
Ia tahu persis sulitnya mencari tanah yang cocok untuk membuat bata. Tanah yang baik adalah tanah liat lembut, tanpa campuran batu kecil. Kini, untuk mendapatkan satu pikap tanah saja, ia harus merogoh kocek hingga Rp85.000.
“Tanah satu pickup sekarang hanya jadi 500 bata, padahal dulu bisa jadi 800. Takaran satu pickup sudah berkurang. Tapi saya juga tidak bisa buat lebih dari 500 dalam sehari, sudah tidak kuat,” pungkasnya.
Di antara segala keterbatasan dan ketergerusan zaman, Seloso tetap setia pada tanah dan bata. Baginya, ini bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan budaya yang ia ciptakan dengan tangan dan ketekunan.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz