Cerita St. Sri Emyani: Tolak Tambang Emas Trenggalek lewat Sastra Jawa

st-sri-emyani-tolak-tambang-emas-trenggalek-sastra-jawa

St. Sri Emyani saat tampil membawakan karyanya/Foto: Dok. St. Sri Emyani

Seseorang masuk ke tengah-tengah panggung pertunjukan. Itu terjadi pada suatu malam setahun silam. Ia masuk dari sisi kanan, mengenakan baju surjan dan blangkon, menyusur masuk setelah sinden berhenti mengalun.

Tak lama setelah ia mengucap salam, suara menggelegar ia lantangkan. Dalam hitungan detik, suasana hening sejenak. Dirinya membacakan sebuah puisi Jawa (geguritan) bertajuk “Sungsang Bumi Morak Marik”. Geguritan itu berisi suara tolak tambang emas Trenggalek.

Sabtu malam, 23 Desember 2023, seseorang itu menceritakan kisahnya pada Kabar Trenggalek. Ia adalah Slamet Sri Mulyani. Emyani lebih dikenal luas dengan nama pena St. Sri Emyani. Emyani menceritakan aksi pertunjukan yang ia lakukan 26 November 2022 silam.

Malam itu digelar Gebyar Ekonomi Kreatif “Rumaket Greget” di Pasar Pon Trenggalek. Emyani mendapat bagian sebagai penampil. Ia menampilkan geguritan yang ia tulis sendiri. Tak ayal, dirinya memang dikenal sebagai seorang penulis. Terlebih, lelaki paruh baya asal Trenggalek itu menulis banyak karya sastra berbahasa Jawa.

Profil Singkat St. Sri Emyani

St. Sri Emyani berpose mengepalkan tangan dan membawa secarik kertas/Foto: Dok. St. Sri Emyani

Nama pena miliknya ia ambil dari singkatan nama aslinya. “St.” merupakan akronim dari huruf awal dan akhir nama depannya. Sedangkan “Emyani” merupakan gubahan dari nama akhirnya. Maka jadilah. Dari “Slamet Sri Mulyani” menjadi “St. Sri Emyani”.

Tak ada alasan lain dari pemilihan nama pena miliknya selain karena ia anggap lebih perlente. Lelaki kelahiran 22 Agustus 1965 itu mulai meniti karir sebagai penulis sekitar tahun 1986. Saat itu, Emyani duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kendati lahir dan besar di Kecamatan Panggul, Trenggalek, masa SMA ia habiskan di Kota Kediri. Emyani termasuk anak yang pendiam. Ia tergerak untuk menulis sebab dirinya mengagumi seorang perempuan sebayanya.

Emyani menyebut kisah balada percintaan remaja itu sebagai “asmarandhana”. Lewat menulis, dirinya dapat lebih leluasa mengungkapkan apa yang ia rasakan. Selain itu, dengan menulis, Emyani juga ingin menunjukkan bahwa anak desa sepertinya dapat bersaing dengan anak-anak lain.

Terbitan pertama Emyani ada pada Majalah Kuncup, majalah dengan segmen pembaca anak-anak. Di tahun ’80 an, Emyani mendapatkan bayaran sebagai penulis majalah Kuncup sebesar Rp.5000 untuk setiap tulisan. Dirinya menulis puisi, cerita pendek, dan cerita bersambung.

Setelah Majalah Kuncup, karir menulis Emyani berlanjut. Ia mempunyai banyak ruang tinta bagi goresan penanya. Tak secara cuma-cuma, melainkan dibayar. Emyani dapat membiayai pendidikannya hingga di perguruan tinggi.

Terangkum, Emyani pernah menulis secara komersil di majalah Mekar Sari, Djoko Lodang, Surabaya Pos dan masih banyak lagi. Pada nama-nama itu, Emyani menulis ulasan budaya hingga pariwisata. Lambat laun, Emyani kemudian memutuskan untuk terfokus menulis sastra Jawa.

Alasan mengapa dirinya memilih sastra Jawa dikarenakan kecintaannya terhadap bahasa Jawa sejak kecil. Emyani mengenal aksara Jawa dari keluarganya. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, Emyani gemar membaca majalah berbahasa Jawa langganan orang tuanya. Di antaranya majalah Panjebar Semangat, Jayabaya, dan Mekar Sari.

Emyani juga gemar belajar menulis aksara Jawa ketika pendidikan dasar. Ia berusaha belajar menulisnya dengan baik dan benar. Tanpa ia sadari, kegemarannya terhadap bahasa Jawa akan membawa pada petualangan yang menakjubkan.

Novel pertama yang ditulis Emyani bertajuk Pager Ayu, diterbitkan pada tahun 1992. Novel itu laku dijual hingga Emyani dapat membeli sepeda motor baru dari keuntungan penjualan. Emyani konsisten menerbitkan karya tulisnya. Dalam setahun, dirinya selalu menerbitkan karya minimal dua buku.

Hingga saat ini, telah ada 36 buku yang diterbitkannya. Salah satu karya Emyani bertajuk Sinawang Suwung mendapatkan penghargaan dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur untuk diterjemahkan ke dalam dua Bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Suriname.

Lewat karyanya, Emyani kerap kali mengusung lingkungan sebagai tema. Ia mendapatkan inspirasi dari kondisi alam sekitar. Karyanya bertajuk Tembang Dukuh Purung menjadi salah satu contohnya. Tembang Dukuh Purung bercerita tentang rasa cinta dan kasih sayang terhadap Dukuh Purung, tanah kelahiran Emyani di Desa Panggul.

Dalam Tembang Dukuh Purung, Emyani menggambarkan kemolekan tanah kecintaannya. Tak hanya kemolekan, namun ia juga menggambarkan desanya secara realis. Hal-hal pahit yang ada di desa juga ia gambarkan. Emyani juga sering menuliskan kritik sosial yang ada di kehidupan pedesaan.

Sungsang Bumi Morak Marik

St. Sri Emyani membacakan Sungsang Bumi Morak Marik di panggung Gebyar Ekraf “Rumaket Greget”/Foto: Kominfo Trenggalek (YouTube)

Mendung gentayung netes eluh songko moto kang wus wuto
Riwis-riwis udan petangis, banjir banjir banjir bandang!
Ngopo kur ditambak merang? Banjir bandang mung ditambak merang
Pitakonku, pitakonku …
Sopo kang salah? Sopo kang kliru? Sopo kang luput?

Emyani memperagakan larik demi larik geguritan yang dulu ia baca di panggung Rumaket Greget. Pengorganisir acara memang meminta Emyani untuk membawakan geguritan bertema penolakan tambang emas.

Emyani yang telah terbiasa menulis sastra Jawa bertema lingkungan pun tak keberatan. Sejak awal, saat masyarakat mulai gencar menolak keberadaan tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Trenggalek, Emyani turut menyatakan sikap penolakan.

“Meskipun ada [masyarakat] yang setuju dan tidak, saya termasuk yang tidak,” tegas Emyani.

“Walau [hanya] melalui bahasa sastra, bahasa tulis, saya ya [menyatakan] ndak terima gitu lho,” tambahnya.

Bagi Emyani, keberlanjutan hidup generasi selanjutnya merupakan hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Salah satu caranya yakni dengan menjaga alam, tempat hayat bagi banyak makhluk hidup, termasuk manusia.

Penolakannya bukan tanpa alasan, sebab, tambang emas yang melahap 9 dari 14 kecamatan di Trenggalek itu dinilai akan merusak ekosistem alam. Konsesi tambang emas yang tercantum pada Izin Usaha Produksi (IUP) meliputi kawasan hutan lindung, kawasan lindung karst, hutan rakyat, sungai, pemukiman warga, hingga area rawan longsor.

Terlebih, menilik dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan, metode penambangan yang diputuskan ialah open-pit mining. Emyani menyoroti penggunaan merkuri dan sianida dalam proses ekstraksi emas. Tentu bahan berbahaya seperti itu akan meresap lewat tanah atau aliran sungai.

Alasan penolakannya juga muncul dari pengalaman personal. Seperti yang kentara dalam setiap karya sastranya, Emyani sangat mengagumi dan mencintai alam Trenggalek. Ketika membahas soal tambang emas, dirinya teringat dengan destinasi wisata alam yang berada di Kecamatan Kampak. Destinasi yang ia maksud yakni Goa Ngerit.

Emyani menyebutnya sebagai “labirin” ciptaan alam. Dirinya tak rela jika taman batuan alam seperti Goa Ngerit harus hancur akibat aktivitas pertambangan. Jika tambang beroperasi, tak hanya keindahan alam yang akan hilang. Namun, fungsi kelestarian ekosistem alami akan lenyap.

“Karena saya seorang penulis, ya kemampuan saya di situ, akhirnya [upaya penolakan] melalui bahasa tulis yang saya bacakan di Pasar Pon,” tutur Emyani.

Emyani kemudian menjelaskan makna dari bait pertama Sungsang Bumi Morak Marik yang ia tulis. Di bagian itu, Emyani bermaksud mengajak pembaca atau penonton untuk merenung dengan pertanyaan. Siapa yang bersalah apabila terjadi bencana yang diakibatkan oleh aktivitas tambang?

“Yang pertama saya tanyakan ya, [masalah] penambangan. Iku sing salah sopo? Tak tekokne, opo penguoso? (Itu yang bersalah siapa? Kutanyakan, apakah penguasa?),” ujar Emyani.

“Penguasa kan [maksud saya] Bupati ke atas ya (eksekutif). Apa ‘wakil kawulo’, wakil kawulo itu legislatif. Apa kito-kito?” tambahnya.

Emyani kemudian lanjut memperagakan geguritan yang pernah ia bawakan:

Sumonggo, ngulat sarira hangrasa wani
Ngaca diri ngungak ati
Ana kidung rumeksa ing kene
Teguh ayo luputo ing beboyo

Walau pun hanya memperagakan, Emyani begitu tegap penuh ketegasan saat membaca bait itu. Hampir sama persis saat dirinya tampil di panggung. Dirinya menekankan bahwa semua pihak harus berani berintrospeksi tentang bencana yang berpotensi terjadi akibat penambangan emas.

“Jangan-jangan kita yang luput lho! Rakyat terus dapet duit, terus kadang-kadang membiarkan,” tegas Emyani.

Bait geguritan selanjutnya:

Banjir longsor ono kono kono
Jebul, kali wis ilang kedhung e,
Pasar wis ilang kumandhange,
Jowo, jowo, jowo ilang kejawene

Opo merga paman pialang,
Pak lik penambang! Pak lik penambang!
Wis pidhak jempol gendhong saklugon!
Kethek seranggon, pasekuton!
Sumadya arep ngorak-arik bumi kang loh jinawi!

Emyani terus menjelaskan makna bait geguritan selanjutnya. Lewat tulisannya, Emyani coba menggambarkan kondisi ketika bencana telah terjadi. Ketika banjir, longsor dan kerusakan alam telah melahap manusia.

Imajinasi kerusakan itu dirinya gambarkan sebab adanya aktivitas eksploitasi alam. Tentu saja, manusia yang berbuat, manusia pula yang harus bertanggungjawab. Lagi-lagi Emyani menekankan perlunya evaluasi dan introspeksi dari semua pihak.

“Tambang, tambang, tambang. Siapa yang salah? Siapa yang luput? Tanya dulu kan,” ujar Emyani.

Pada bait terakhir geguritan Sungsang Bumi Morak Marik, Emyani menulis ajakan sekaligus peringatan. Ajakannya untuk bersama-sama merawat alam. Sebab, bumi bukan milik pihak tertentu melainkan milik semua manusia.

Sedangkan peringatan ia tuliskan bagi siapa saja yang berniat mengeksploitasi kekayaan alam dengan cara yang merusak. Lewat geguritan yang ia tulis dan bacakan, Emyani menegaskan bahwa perusak alam akan binasa. Dibinasakan oleh alam itu sendiri.

Ya bumiku, ya bumimu!
Kita kita sedaya
Mula ayo sumitro
Ndedonga, lathi tumeksing ati
Raga tumekaning jiwo
Kang arep ngorak-arik pertiwi, bisa dadal
Bisa keunthal saka tlatah Bumi Sopal!

Exit mobile version