Kisah Para Bendahara Tuhan: Petani Watulimo dalam Lintasan JLS

kisah petani watulimo

Pemandangan laut selatan, JLS dan pohon-pohon yang ditanam para petani Watulimo | @mastrigus

Sayup-sayup suara adzan dari Masjid Al-Askar berkumandang pukul 03.00 pagi, sesaat setelah aku terbangun dari tidur. Entahlah, sejak beberapa bulan ini, saya sering terbangun di sepertiga malam, bahkan sama sekali tidak tidur.

Suara takbirnya khas, nada tersebut hanya bisa saya dengarkan dari masjid al askar, mendayu-dayu, mengajak orang-orang untuk menunaikan tahajud, sedangkan aku, masih terpaku dalam kasur kusam, seakan enggan untuk larut dalam sujud malam itu, “mungkin belum saatnya” batinku.

Suasana pagi masih sepi, dari jalan dekat rumah, terdengar motor supra tahun 2009 milik tetangga, lek Yanto namanya –yang sebenarnya masih saudara– mungkin lek Yanto baru saja pulang dari kerja shift malamnya di pabrik Gondorukem (getah pinus), suara motornya sedikit memecah kesunyian pagi itu.

Aku melamun, namun tidak jelas apa yang ada dalam pikiranku, seperti biasanya, random, tapi tanpa sadar, ingatan tentang berkemah di hutan garapan Kawuk kembali menyeruak di antara sunyi.

Mengingatkan kepadaku akan janji beberapa waktu lalu, bahwa kisah tersebut akan kutulis. Dan kini ingatan janji tersebut selalu muncul, mungkin akan selalu muncul selama belum kutuliskan. Dan aku sepakat bahwa kisah tersebut harus ditulis supaya ada orang yang mengetahuinya.

Kayu yang telah tumbang menyisakan tunggak, oleh para petani disemai dengan tanaman produksi seperti cengkeh | Foto @mastrigus

Itu tentang kisah-kisah para petani Watulimo yang berjibaku mengubah hutan belantara menjadi sumber pangan dan penghasilan. Mereka –para petani– ini sedang memantaskan diri sebagai bendaharanya Tuhan dengan cara menyiapkan sumber makanan bagi masyarakat, atas izin-Nya.

Di antara kisah-kisah tersebut masih terekam jelas dalam ingatan. Seakan tiada mau dilupa sebelum ditorehkan dalam kanvas putih, dan aku menyerah malam itu, memilih untuk menuruti keinginan ingatan.

Tentang Kawok si Manusia Petani

Kalaulah dulu aku tak bergumul dengan gerakan anak-anak muda Niponk, mungkin aku tidak kenal Kawok. Niponk adalah organisasi yang keberadaannya sudah lama, namun meskipun namanya mirip kosakata Jepang, itu bukan gerakan dai nippon.

Melainkan gerakan pecinta alam kaum muda Watulimo, yang kemudian menamakan dirinya Niponk. Entah dihasilkan dari apa — mungkin otak atik gathuk— yang kemudian nama Komunitas Niponk memiliki kepanjangan Naluri Insan Pecinta Alam Ora Nate Kapok.

Kawok hanyalah nama samaran, tapi jujur saja, aku hampir tidak ingat siapa nama aslinya. Usianya lebih tua dariku, tapi badannya lebih kuat 100 kali lipat dibandingkan dengan ragaku. Ia petani dan akan selalu mencintai pekerjaannya sebagai petani, begitulah katanya.

Oleh karenanya, tak jarang kehidupannya lebih sering di hutan, ia kerap tidur di gubuknya –yang mirip villa– siang dan malam. Dan darinyalah aku mengenal berbagai kehidupan petani Watulimo di lahan-lahan mereka.

Tampak gubuk Kawok dari depan, berada di tengah-tengah tanaman yang ia tanam | Foto @mastrigus

Sore hari, aku sampai di gubuk Kawok bersama tiga teman lainnya, yakni Najib, Ajar, Rifky. Kami berempat berencana –tapi mendadak– untuk bermalam di hutan tempat Kawok berada. Beruntung waktu itu Jalan Lintas Selatan (JLS) boleh untuk dilintasi –meski masih ditutup lantaran pemeliharaan, kami boleh masuk ketika menyebut nama Mbah Man– sehingga kami tidak perlu kesusahan lagi melewati jalan setapak di tepi jurang.

Dahulu saat pertama kali berkunjung ke gubuk Kawok, kami melewati jalur kecil yang hanya cukup dilalui satu sepeda motor. Masih ingat, karena terbiasa dengan jalan mudah, tenaga kami habis hanya untuk berkendara karena dipermainkan rintangan jalan terjal nan curam.

Terkadang mental berani, namun ketika melihat jurang menganga yang seakan menunggu kami jatuh, mental langsung drop. Najib, menjadi korban paling parah di perjalanan pertama.

Kawok katanya sudah di gubuk lebih dahulu, namun saat sampai di sana, Kawok tidak ada di tempatnya, kami langsung menaruh barang-barang di gubuk tanpa izin, lalu setelah itu mencari tempat terbaik melihat pemandangan sekitar.

Ada batu besar di tepi jurang tepat di depan gubuk Kawok. Dari sini kami bisa melihat bentangan laut selatan sejauh mata memandang, gugusan pegunungan rendah cukup menjadi pelengkap kekaguman kami atas alam ciptaannya.

Dari kiri: Ajar, Trigus, Najib, Rifki menikmati suasana sore di depan gubuk Kawok | Foto @mastrigus

Lokasi gubuk Kawok berada di belahan kabupaten Tulungagung, namun hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Trenggalek. Sejak terjadi perambahan hutan belantara oleh masyarakat, hutan ini telah menjadi tempat tanaman buah-buahan.

Semula hutan ini berisi tanaman belukar namun kini telah menjadi kebun alpukat, durian, pisang, cengkeh dll. Beberapa pohon besar masih dibiarkan berdiri, menjadi rumah bagi burung-burung liar. Terkadang burung kutilang singgah mengambil buah pisang yang telah masak.

Kawok muncul dari balik tikungan jalan setapak, entah darimana, tapi kami melihat tangannya memegang beberapa ikat buah durian, dia memakai kemeja dan celana pendek serta sepatu slontop (sepatu bot petani).

Kawok tetap sama seperti yang aku lihat beberapa tahun lalu, tidak peduli dengan style necis dan terkesan apa adanya. Kami bersalaman setelah ia menaruh buah durian di depan kami. Tanpa dikomando, Najib langsung meraih buah durian, ajar pun mengikutinya. Sementara itu kawuk menyerahkan aritnya kepada mereka.

Di sinilah perbedaan itu jelas sekali, Najib yang jarang membelah durian, terlihat sangat kaku saat memegang arit dan buah durian, instingnya mungkin belum terbangun, ia tidak bisa menemukan posisi dimana buah durian harus dibelah.

Kawok dengan omelannya membuli kelakuan Najib, namun seketika dia mengambil alih arit lalu mengambil buah durian lainnya, dia membukakan buah durian yang ia bawa.

Kawok membuka buah durian setelah melihat upaya Najib yang tak kunjung berhasil membelah buah durian | Foto @mastrigus

Satu persatu buah durian masuk dalam mulut, kami larut dalam rasa manis buah durian, terkadang ada sensasi rasa pahit, terkadang ada yang teksturnya lembek, namun terkadang ada yang benar-benar pas di mulut. Lima buah durian kami habiskan saat itu juga. Kawuk pergi untuk mandi di samping gubuknya, dan kami masih bersenda gurau di batu tepi jurang.

Tentang Mbah Man, 20 Tahun Hidup Sendiri di Hutan

Menjelang petang, Mbah Man datang ke gubuk Kawok, ia bersama seseorang yang ternyata diundang Kawok untuk berkemah bersama. Mbah Man, sosok orang yang dituakan di hutan tersebut. Ia sudah hidup menyendiri di hutan tersebut hampir 20 tahun. Jauh lebih lama dari pada kawok.

Tentang Mbah Man, tak banyak informasi yang aku dapatkan, hanya saja setelah kami berpindah dari gubuk Kawok ke Rumah mbah Man —disebut rumah karena memiliki perabotan lengkap layaknya rumah— aku menjadi lebih tahu siapa dia.

Kala itu, istrinya datang menginap, menemani mbah Man. Di hari-hari biasa, mbah man benar-benar hidup sendiri di hutan. Ia menjadi layak disebut sebagai Tarzannya Watulimo. Kendati demikian, ketika kami sonjo di rumahnya, tampaknya mereka telah mempersiapkan segalanya. Ada hidangan cimplung —ketela pohon yang direbus dengan nira kelapa— begitu juga dengan buah durian serta manggis. Kami gayeng mengobrol di rumah Mbah Man.

Hidangan malam yang disajikan Mbah Man di Rumahnya, ada cimplung, durian, manggis dll | Foto @mastrigus

“Dahulu hutan ini benar-benar rimba” ucapnya sembari menikmati cimplung. Rumah yang sedang kami singgahi ini dibangun secara bertahap, menurut Mbah Man, dia membawa perlengkapan —genting, batu bata— dari rumahnya yang terletak di Desa Dukuh. Dahulu jalanan masih berupa setapak tanah, belum ada semen seperti sekarang, apalagi JLS. Belum ada pohon durian atau manggis, bahkan alpukat. Adanya pohon pucung dan semak belukar lainnya.

Malam semakin larut, aku tidak bisa membayangkan lokasi dan kondisi rumah Mbah Man karena masih gelap. Namun mendengar cerita-ceritanya, saya mengetahui fungsi dari rumah Mbah Man. Bukan hanya sebagai tempat tinggal melepas penat setelah bekerja, namun kini rumahnya sebagai tempat jujukan para petani lain. Ada banyak buah durian terhampar di lantai rumah Mbah Man, buah buah tersebut dihasilkan oleh petani lainnya yang dikumpulkan, lantas dijual keesokan harinya. Rumah Mbah Man lebih difungsikan sebagai tempat konsolidasi para petani.

Tampak rumah Mbah Man di antara buah durian dan tanaman produktif lainnya | Foto @mastrigus

Siang hari selepas berkemah di tempat lain, aku datang kembali ke rumah Mbah Man, mengeksplorasi kediamannya. Ada banyak pohon durian yang berbuah kala itu, pun juga dengan pohon manggis dan cengkeh. Sungguh, jika harus membandingkan dengan program food estate, menurutku ini jauh lebih baik. Ketahanan pangan yang langsung diprakarsai para petani tanpa meninggalkan kultur mereka sebagai manusia. Menurut Dr. Soeripto, manusia yang memanusiakan manusia, yang sanggup mengalamkan alam serta menghewankan hewan adalah tingkatan iman paling tinggi. Bukankah program food estate membuat kerusakan alam sebelum hasil pertaniannya berhasil?

Gotong-Royong Petani Membangun Akses Jalan

Kami bermalam di lahan bekas galian excavator program Jalur Lintas Selatan, tepat di atas atas bukitnya. Apabila kami melihat ke bawah, nampak jalan JLS yang berliuk-liuk seperti ular. JLS tanpa pengendara yang melintas, nampak sekali keangkuhannya, dan tentu lebih sedap dipandang mata. Entah, mungkin beberapa tahun kemudian, jalan ini akan dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang.

Pemandangan JLS pagi hari pukul 06.50 WIB | Foto @mastrigus

Selepas kemah, kami tak langsung pulang, tujuan kami bukan ini saja, melainkan hendak merekam aktivitas para petani saat bergotong-royong, hendak mengetahui bagaimana mereka membuat jalan-jalan setapak bersemen sebagai akses kegiatan mereka tanpa bantuan keuangan dari pemerintah. Mereka membeli semen, pasir dan besi dari iuran hasil bertani.

Hari minggu, mereka pergi ke hutan bukan untuk bertani, namun untuk bergotong-royong membangun jalan, beruntung kami dapat mengabadikan momen tersebut. Jalan setapak yang mereka cor bertujuan supaya mudah dilalui sepeda motor. Mereka membawa motor sampai ke dalam hutan untuk menghemat waktu serta untuk membawa hasil pertanian dari hutan atau membawa barang-barang ke hutan seperti pupuk.

Para Petani sedang membuat jalan cor supaya mudah dilalui sepeda motor | Foto @mastrigus
Jalan cor yang mereka bangun memudahkan berkendara | Foto @mastrigus

Kawuk ada di antara para petani, ia tampak bersemangat menata batu dan menumpahkan semen di atasnya. Terkadang ia mengangkut pasir yang telah diwadahi karung. Mereka kompak menyemai asa untuk bisa bertani dengan mudah serta merawat hutan dari kerusakan. Seharusnya, pemerintah mengambil contoh dari mereka dalam membangun ketahanan pangan.

Exit mobile version