KBRT – Aroma asap kayu dan seduhan kopi khas menyambut siapa saja yang melewati pojok utara Pasar Durenan. Dari balik lapak sederhana, Sulastri (56) setia meracik kopi dengan resep warisan sang ibu, mempertahankan cita rasa yang telah turun-temurun.
“Saya sudah generasi kedua jualan, saya jualan kopi ini melanjutkan ibu saya dulu,” ujar Sulastri.
Di lapaknya, Sulastri menyajikan kopi hitam racikan sendiri yang terbuat dari campuran kopi, beras, jahe, dan kelapa—resep khas keluarganya. Ia juga menyediakan teh hangat, wedang jahe, hingga kopi instan bila pembeli menghendaki.
“Kopi saya ini buat sendiri, Mas. Bahannya ya ditambah beras, jahe, dan kelapa. Itu pesan ibu saya,” jelasnya.
Dalam sehari, Sulastri mampu menjual sekitar 20 gelas kopi, dengan mayoritas pelanggan berasal dari pedagang dan pengunjung Pasar Durenan.
“Alhamdulillah kalau penjualan stabil, rata-rata ya 20 gelas,” ujarnya.
Untuk menjaga rasa khas, Sulastri tetap menggunakan tungku kayu bakar untuk merebus air. Menurutnya, air hasil masakan tungku memiliki aroma dan rasa yang berbeda dari air yang dimasak dengan kompor gas.
“Sejak ibu saya dulu, masak air ya dengan kayu bakar. Sampai sekarang saya masih menggunakan kayu bakar karena aromanya khas,” terangnya.
Lapak Sulastri buka setiap Legi dan Wage mulai pukul 06.00 hingga 10.00 WIB. Harga kopi yang dijualnya kini naik mengikuti harga bahan baku: kopi hitam Rp3.000 dan kopi susu Rp5.000 per gelas.
“Harga saat ini naik karena bahan baku naik. Dulu satu gelas seribu rupiah, sekarang jadi tiga ribu rupiah per gelasnya,” tandasnya.
Sulastri tetap bertahan meski kondisi pasar kumuh dan atap bocor kerap menyebabkan lapaknya kebanjiran.
“Jualan di sini kalau tidak orang yang serius dan nerima ya tidak telaten, karena kondisi pasarnya seperti ini,” ujarnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz