KBRT – Pagi baru saja merekah di kaki Gunung Sengungklung. Kabut masih menempel di pucuk-pucuk pohon kala Sutini, perempuan kelahiran 1967 itu, melangkah pelan menuju sekolah. Di Kecamatan Pule yang sunyi, suara langkahnya adalah simbol keteguhan: bahwa pendidikan bisa dibangun meski dari tempat yang jauh dari gemerlap.
Di Hari Kartini ini, cerita tentang Sutini adalah pengingat bahwa perjuangan seorang perempuan bisa begitu sunyi, tapi membekas lama. Bukan lewat panggung megah atau sorotan kamera, tapi dari papan tulis sederhana dan senyum anak-anak desa.
Sudah lebih dari dua dekade Sutini mengabdi. Ia memulai segalanya sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) di SD Negeri 2 Pakel sejak 2003. Kala itu, statusnya tak jelas, gajinya pun tak seberapa. Tapi semangatnya justru tak pernah pudar. Pada 2022, ia akhirnya dinyatakan lolos sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Perjuangan saya dengan riang gembira dan semangat. Dari GTT tahun 2003 sampai akhirnya bisa jadi PPPK di tahap pertama," ucapnya, tersenyum di sela kenangan panjang.
Tapi jejak pengabdiannya jauh melampaui status kepegawaian. Di awal menjadi guru, Sutini mendirikan Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita II Pakel. Ia membangun dari nol, memanfaatkan lahan desa.
Kemudian, pada 2007, ia kembali bergerak dengan mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) karena melihat tak ada fasilitas untuk anak-anak usia dini di desanya.
"Saat itu anak saya masih dua tahun. Saya melihat tidak ada fasilitas untuk anak-anak, makanya saya berinisiatif dirikan PAUD sendiri," kisahnya lirih.

Di tengah padatnya aktivitas sebagai guru dan ibu, Sutini juga sempat menempuh kuliah Bahasa Inggris. Meskipun hanya bertahan empat semester, ia tak berhenti. Ia berganti haluan ke program studi PGSD dan berhasil lulus setelah lima tahun, sambil terus mengasuh anak dan tetap mengajar.
Tak hanya ilmu, Sutini juga mewariskan kecintaan pada seni. Dulu ia aktif di panggung ketoprak dan wayang orang. Kini, ia membina kelompok tari di sekolahnya, yang beberapa kali menjuarai lomba seni.
"Saya senang seni sejak awal mengajar. Kami sering ikut lomba tari, dan punya banyak piagam," ucapnya bangga.
Jalan menuju status ASN bukan tanpa rintangan. Ia pernah gagal pada seleksi tahun 2004 dan 2009. Pada 2013, usianya tidak lagi memenuhi syarat untuk ikut jalur K2. Bahkan, ia sempat berangkat ke Jakarta untuk menyuarakan aspirasi GTT. Total, empat kali ia mencoba hingga akhirnya berhasil.
"Saat tes tahun 2004 itu saya nekat datang meski hujan deras dan ada petir. Rumah saya jauh dari kota. Tapi saya tetap berangkat," kenangnya, mengenang perjuangan itu seolah baru kemarin.
Kisah Sutini bukan hanya tentang kelas dan kurikulum. Sebelum mengajar, ia pernah bekerja sebagai TKW di Hong Kong selama enam tahun. Tapi hatinya selalu tertambat di tanah kelahiran. Pada usia 36 tahun, ia memutuskan mengejar kembali mimpi masa kecil: menjadi guru di desanya.
Kini, SDN 2 Pakel dikenal sebagai sekolah bersih dan disiplin, bahkan menjadi rujukan bagi sekolah lain. Sutini tak hanya mengajar, tetapi juga terlibat aktif dalam kegiatan desa: kerja bakti, event sosial, hingga membantu murid yang kesulitan.
"Saya tidak suka menganggur. Meskipun sekarang sudah ASN, saya tetap menalangi kebutuhan murid kalau memang darurat. Karena saya tahu, dulu saya juga pernah merasakan sulitnya hidup," ujarnya penuh empati.
Ia adalah ibu dari dua anak. Tapi di mata warga dan siswanya, ia adalah sosok ibu bagi semua. Rasa kekeluargaan ia tanam, bukan hanya di rumah, tapi juga di ruang kelas dan lingkungan.
"Dulu GTT dapat Rp100.000–Rp200.000 gajinya, bahkan tidak cukup untuk makan atau beli bensin. Tapi saya tetap bertahan, karena saya yakin pendidikan adalah jalan saya mengabdi," katanya.
Sutini bukan Kartini di atas podium. Ia adalah Kartini yang lahir dari lereng, berjalan di jalan berlumpur, dan pulang dengan senyum anak-anak yang membawa harapan. Ia membuktikan bahwa perjuangan bisa berwujud sederhana, tapi maknanya dalam. Dari lereng Sengungklung, kisah itu menyebar—tentang perempuan yang tak hanya mengajar, tapi membangun.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Lek Zuhri