KBRT – Di tengah gegap gempita dunia digital dan pasar online yang kian menjamur, Kamto (53), seorang penjahit dari Desa Salamrejo, Kecamatan Karangan, Trenggalek, tetap setia pada mesin jahitnya. Dari sebuah lapak kecil di sudut Pasar Pon, ia mempertahankan profesi yang perlahan mulai dilupakan.
Dulu, Kamto bukan penjahit tetap. Ia mengayuh sepeda motornya sambil membawa mesin jahit dan peralatan seadanya, menelusuri sudut-sudut kampung demi menjemput rezeki dari baju yang robek atau seragam yang belum pas ukuran.
“Awal belajar menjahit itu setelah saya menikah, ya sudah puluhan tahun yang lalu. Sebelum menetap di Pasar Pon, saya berkeliling membawa mesin jahit dan peralatan lainnya untuk mencari pelanggan,” kenangnya, Selasa (29/4/2025).
Kini, usia dan tenaga yang tak lagi sekuat dulu membuat Kamto menetap di dekat pintu utama selatan Pasar Pon. Di sana, di tengah lalu lalang pembeli dan suara tawar-menawar, ia duduk di balik mesin jahit, menyulam kisah ketekunan yang tak lekang oleh waktu.
“Syukur, setiap hari saya tetap didatangi pelanggan, meski tidak selalu banyak,” ujarnya sambil tersenyum tulus.
Penurunan penghasilan sempat ia rasakan, namun tak pernah jadi alasan untuk menyerah. “Kalau sekarang itu sudah jarang orang tua yang membuatkan seragam sekolah untuk anaknya sendiri, tidak seperti dulu. Makanya sekarang saya fokus ke permak, bukan jahit,” katanya, menyadari perubahan zaman yang terus bergulir.
Lebih dari sekadar penjahit, Kamto adalah perawat memori dan harapan. Ia memperbaiki bukan hanya pakaian, tapi juga hubungan batin antara seseorang dan bajunya. Permak celana, rompi, jaket, tas, hingga mukena, semuanya ia kerjakan dengan telaten.
“Sering ada pelanggan datang dan tanya, ‘Pak, kalau dibuat begini bisa nggak? Ditambah ini bisa?’ Saya jawab semua bisa dikerjakan, asalkan sabar,” tuturnya dengan bangga.
Kamto tidak pernah memasang tarif pasti. Setiap permak dinilai dari tingkat kerumitannya. Ia pun memberi keleluasaan kepada pelanggan untuk mengambil hasil permakan kapan pun mereka mau.
“Kalau mendekati Lebaran, biasanya saya dibantu istri karena permintaan naik dua kali lipat,” tambahnya.
Di balik kesederhanaan Kamto, tersimpan semangat perjuangan. Ia mungkin tidak viral, tidak muncul di layar kaca, namun dedikasinya menjahit rapi kehidupan banyak orang dengan jarum dan benang adalah bentuk nyata pahlawan tanpa tanda jasa.
Saat dunia berubah, Kamto tetap. Dengan tangan terampil dan hati yang teguh, ia menjahit bukan hanya kain, tetapi juga martabat dan kebanggaan sebuah profesi tua yang tak pernah mati.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz