JATAM Kritik Wacana Cawapres di Debat Pertama, Hilirisasi Nikel Memiskinkan Masyarakat

jatam-kritik-wacana-cawapres-debat-pertama-hilirisasi-nikel

Tambang nikel perusak lingkungan/Foto: Dok. JATAM

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik wacana cawapres di debat pertama pada Jumat (22/12/2023). Tema debat itu meliputi ekonomi kerakyatan dan digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan.

Alfarhat Kasman, Pengkampanye JATAM, menyoroti cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam membalas pernyataan Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dan Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD. Hal itu mengenai diplomasi perdagangan yang menawarkan hilirisasi sebagai solusi konkret.

“Saya jawab paling konkret, hilirisasi. Kita jangan mau lagi mengirim barang mentah. Kita harus mampu meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Contoh, nikel, dulu sebelum hilirisasi kita ekspor hanya USD 3 miliar sekarang setelah hilirisasi menjadi USD 33 miliar. Ini saya baru bicara masalah nikel belum masalah timah, tembaga, bauksit, dan lain-lain,” kata Gibran di debat cawapres pertama.

Menurut Alfarhat, usulan hilirisasi, termasuk nikel, oleh Gibran tampak hanya melanjutkan program andalan Presiden Jokowi. JATAM menilai, program ayah kandung Gibran itu selama ini mengandung banyak masalah.

“Pertama, hilirisasi nikel yang dilakukan di Indonesia selama ini justru menguntungkan China. Mengingat perusahaan yang melakukan hilirisasi kebanyakan dari China, sehingga keuntungannya justru lebih banyak lari ke China,” kata Alfarhat melalui rilis resmi JATAM.

Selain itu, kata Alfarhat, perusahaan-perusahaan yang mengolah nikel (smelter) juga banyak mendapatkan insentif, salah satunya melalui tax holiday atau insentif pembebasan pembayaran pajak. Jangka waktu tax holiday ini variatif, bergantung pada nilai investasi.

“Kedua, hilirisasi di wilayah sentra nikel telah memicu kemiskinan bagi warga. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan angka kemiskinan di wilayah sentra nikel justru naik,” terang Alfarhat.

Mulai angka kemiskinan di Sulawesi Tengah yang naik sekitar 0,11 persen poin dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Disusul Sulawesi Selatan, yang mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04 persen poin dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen. Kemudian Maluku Utara yang naik 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.

“Ketiga, operasi pertambangan dan smelter nikel yang sarat dengan praktik korupsi ditengarai menjadi salah satu biang kerok dari kemiskinan di wilayah sentra nikel. Elit politik dan pengusaha pertambangan memperoleh izin usaha melalui praktik suap, dugaan pemalsuan dokumen, dan kemampuan berjejaring dengan penyelenggara negara,” jelas Alfarhat.

Keempat, lanjut Alfarhat, hilirisasi tambang nikel selama ini telah memicu perluasan perampasan ruang produksi warga, mulai dari lahan-lahan pertanian, dan wilayah tangkap nelayan. Hingga mencemari air, air laut, merusak ekosistem, kawasan hutan, serta berdampak pada terganggunya kesehatan warga yang ditandai muncul dan meningkatnya ragam penyakit.

“Dalam praktiknya, program hilirisasi itu juga memicu masifnya kekerasan dan intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya,” ucap Alfarhat.

Alfarhat memberi contoh nyata atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan itu, terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, tempat dimana kawasan industri Harita Group beroperasi.

“Lahan-lahan warga dicaplok, sumber air dan air laut tercemar, warga terserang penyakit, bahkan satu orang warga mendekam dipenjara karena dituduh menghalang-halangi aktivitas tambang,” ungkap Alfarhat.

Hal serupa terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, tempat dimana PT Gema Kreasi Perdana, anak usaha Harita Group, beroperasi. Warga penolak tambang yang mempertahankan ruang hidupnya justru mengalami kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap 35 orang warga.

“Operasi tambang di daratan juga telah mencemari sumber air warga yang memicu munculnya penyakit gatal-gatal, hingga air laut keruh-kecoklatan akibat limbah tambang,” ujar Alfarhat.

Kemudian di Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara dan Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Di dua wilayah itu, operasi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah dan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) telah memberikan daya rusak. Industri itu berdampak pada alih fungsi lahan skala besar, mencemari perairan dan merusak kawasan hutan, hingga berdampak pada terganggunya kesehatan warga.

“Ironisnya, dampak eksternalitas dari hilirisasi itu, tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, semua dibebankan kepada warga. Padahal, daya rusak itu pada akhirnya juga berdampak pada terganggunya income, daya beli, dan menjadi sumber kemiskinan,” ungkap Alfarhat.

Alfarhat menyebutkan, agenda hilirisasi bahan mentah tambang ini sebetulnya juga menjadi bagian dari agenda dua pasangan capres-cawapres lain, Ganjar-Mahfud dan Anies-Amien.

Pasangan Ganjar-Mahfud, misalnya, bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai pemain nikel raksasa dunia. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud, Heru Dewanto yang bermimpi menjadikan Indonesia lima besar kekuatan ekonomi dunia.

“Capres Ganjar bahkan mendorong hilirisasi tidak sebatas pada komoditas nikel, tetapi juga mesti perluas ke sektor kelautan, pertanian, Perkebunan hingga digital infrastruktur,” terang Alfarhat.

Demikian juga dengan pasangan Anies-Muhaimin yang mendukung hilirisasi, program andalan Jokowi. Menurut Anies, hilirisasi harus didorong dengan reindustrialisasi, sehingga akan tercipta 15 juta lapangan pekerjaan dalam lima tahun ke depan.

Tiga pasangan capres-cawapres tersebut tampak menjadikan agenda hilirisasi sebatas mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mendalami siapa sesungguhnya pihak yang meraup keuntungan.

“Upaya hilirisasi untuk menciptakan lapangan kerja juga mengabaikan realitas empiris ihwal rantai proses hilirisasi yang justru telah memicu lenyapnya ruang produksi warga yang, pada akhirnya menyebabkan kehilangan pekerjaan dan kemiskinan bagi warga,” jelas Alfarhat.

“Pengabaian atas realitas itu menunjukkan bahwa tiga pasangan capres-cawapres tampak tengah menjaga kepentingan pelaku bisnis, mengabaikan suara warga yang sedang menderita akibat digempur oleh percepatan dan perluasan pembongkaran material tambang untuk kepentingan hilirisasi dari industri,” tandasnya.

Exit mobile version