Sekilas 45 Hari di Trenggalek

sekilas 45 hari di trenggalek

Alun-Alun Trenggalek/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)

Jumat, 20 Oktober 2023. Pukul 12.20, jalanan Trenggalek yang mulanya begitu lengang mulai kembali ramai menampakkan aktivitasnya. Sekitar 30 menit yang lalu, setelah selesai berpamitan, aku segera beranjak meninggalkan Kantor Kabar Trenggalek. Dengan itu, bisa dipastikan masa magangku di Kabar Trenggalek sudah selesai. Sayang sekali, berakhirnya masa magang juga berarti aku harus segera kembali ke kampus di Malang.

Di perjalanan, kepalaku kembali mengingat momen-momen sekilas 45 hari di Trenggalek. Bayangan tentang tempat-tempat yang dulu pernah kukunjungi satu per satu muncul. Beberapa di antaranya telah terabadikan dalam website Kabar Trenggalek ini. Mulai dari Hutan Kota, Warkop Kuwot, skatepark, Sanggar Tari Pawon, Munjungan, Watulimo, dan masih banyak lainnya.

Kesan pertamaku tentang Trenggalek masih tetap sama seperti di awal kedatangan. Kota ini begitu tenang dan sepi. Entah tak terhitung berapa banyak lagi aku mengatakan kota ini memang cocok untuk menepi, terutama bagi orang-orang yang sumpek dengan hiruk pikuk perkotaan.

Kota Hari Tua

Lanskap dan kondisi geografis Trenggalek memang cocok bagi orang-orang sumpek yang ingin menepi. Suasana tenang dan tentram bahkan masih terasa sampai sebelum aku benar-benar meninggalkan kota ini.

Kesan pertamaku semakin terbangun ketika bertemu dengan beberapa narasumber saat wawancara. Pak Hanarko misalnya. Beliau merupakan seorang pembina Sanggar Tari Pawon. Sehabis wawancara, beliau banyak mengobrol tentang seluk beluk kebudayaan Trenggalek. Sesekali aku membandingkannya dengan dinamika kebudayaan di Malang.

Setelah membicarakan Trenggalek, beliau juga bertanya, “mengapa memilih Trenggalek?”. Jawabanku pun sama dengan jawaban pada semua orang, “Trenggalek itu unik dan menarik. Bisa liat gunung di tengah kota.” itu jawaban ringkasnya. Pak Hanarko hanyalah satu dari hampir setiap narasumber yang bertanya seperti itu.

Kesan tenang dan sepi nyatanya bukan kesan yang kubangun sendiri. Pernah sekali aku bertemu seorang pedagang kopi di belakang terminal Trenggalek. Pertanyaan pertama yang ia lontarkan kepadaku adalah, “mengapa memilih Trenggalek?” jawabannya pun juga masih sama. Seketika, lelaki asal Dampit, Malang, itu turut mengiyakan jawabanku. Ia juga rela jauh-jauh dari Dampit merantau ke Trenggalek yang dirasanya cukup tenang dari hiruk pikuk perkotaan.

Seorang pemuda Trenggalek, Saridi namanya, ia juga mengatakan tak jauh berbeda seperti kataku. Namun, menurutnya, saking sepi dan tenangnya Trenggalek membuatnya agak boring. Tetapi ia berhasil mengajak beberapa anak muda lain untuk beraktivitas seperti rutin bermain skate dan membuat skate lessons di Trenggalek Skatepark.

Seiring waktu berjalan, satu persatu tempat mulai ku jelajahi, orang-orang ku kunjungi. Mulai dari warung kopi legendaris yang diperkirakan buka setelah zaman romusha, petani durian dan petani kapulaga yang kebunnya terancam tambang emas PT SMN, seniman Tari Gandhong yang hampir tergerus zaman, konservasi penyu, sampai sebuah kampung batik di bawah bukit yang dikeruk tambang galian C dan ternyata tambang itu milik pamanku sendiri.

Semua itu hanya segelintir keunikan Trenggalek yang telah kuulik. Tentu saja, 45 hari di Trenggalek bukan waktu yang lama untuk menjelajahi setiap jengkal keunikan Trenggalek. Mungkin nanti, beberapa bulan ke depan, atau di beberapa waktu senggang aku harus kembali lagi ke Kota Alen-Alen ini.

Desa-Desa di Kaki Gunung

Menelusuri sumber mata air di Desa Pringapus, Kecamatan Dongko/Foto: Beni Kusuma (Kabar Trenggalek)
Iki nek bagian seng enek dongko ne

Selama magang, hampir setiap hari aku berkeliling mencari bahan tulisan. Entah itu feature, straight news, atau pun artikel. Target satu hari satu tulisan nampaknya membuatku cukup pontang-panting untuk memutar otak setiap malam. Mungkin itu terjadi karena belum terbiasa dengan tuntutan produktivitas media online. Hal itu terus menerus terjadi selama 5 hari dalam satu pekan.

Tiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, aku selalu punya opsi entah pulang ke Malang atau memilih untuk mengunjungi beberapa tempat untuk bersantai. Beni, salah satu koordinator lapangan selama magang, pernah mengajakku untuk singgah ke rumahnya. Rumahnya di Kecamatan Dongko, tepatnya di Desa Pringapus.

Aku rasa, keputusanku malam itu sangat tepat untuk ikut Beni pulang ke rumah. Pasalnya, di sana aku lebih bisa merasakan suasana ketenangan. Penat lima hari kerja sesaat terobati oleh dinginnya suhu di desa itu.

Letaknya yang berada di ketinggian di atas 500 Mdpl membuat suasana di desa ini mirip rumahku di Malang. Hal yang membuatku heran adalah rumah-rumah penduduk yang berada di setiap belokan, perengan, maupun sudut-sudut yang lebih masuk dari jalan utama.

Ternyata, Desa Pringapus bukanlah satu-satunya. Beberapa waktu setelah Beni mengajakku ke rumahnya, aku juga mengunjungi beberapa tempat lain yang tak kalah membuatku heran. Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, misalnya.

Saat itu, editor Kabar Trenggalek, Wahyu AO, mengajakku ke rumah seorang petani durian di sana. Rumahnya berada sangat masuk dari jalan raya. Semakin masuk lagi setelah melewati persawahan di kaki-kaki bukit yang ternyata nampak jejeran rumah di perengan. Pikiranku terbayang betapa menenangkannya hidup di desa ini.

Pak Samidi, nama dari petani durian itu, mempersilakan kami untuk duduk sejenak dan berbincang santai di ruang tamu rumahnya. Sembari ditemani durian yang baru dipanen, Pak Samidi juga menceritakan nasib kebun duriannya jika suatu saat nanti tambang emas berhasil beroperasi. Meski harus diakui, di desa itu cukup sulit akses sinyal, apalagi provider berwarna kuning yang aku pakai. Tapi beberapa jam saja, aku bisa merasakan ketentraman yang membalut kepala.

Dua tempat ini mungkin hanya sedikit dari banyaknya desa-desa di kaki gunung yang belum pernah aku kunjungi selama di Trenggalek. Duh, betapa indahnya pesona Trenggalek ini. Andai nanti aku kembali ke tempat ini, semoga berjodoh dan tetap lestari.

Tenang tapi Terusik

Pak Samidi bercerita tentang kebunnya yang terancam tambang emas/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)

Jalanan Trenggalek yang siang itu cukup panas ternyata juga membuat motorku harus berhenti sekali waktu. Lalu lintas sedang tak terlalu ramai, orang-orang mulai undur dari dari masjid usai Sholat Jumat. Aku memutuskan untuk memutar musik menggunakan earphone.

Lagu yang kuputar adalah beberapa lagu yang lumayan relate untuk didengar saat berada di Trenggalek, setidaknya bagi seleraku sendiri. Salah satunya adalah lagu berjudul “Gadis dan Telaga” yang sering dibawakan musisi Sombanusa.

Lagu ini sekilas menceritakan seorang gadis malang yang meratapi rumahnya. Perampasan lahan dan ruang hidup telah merenggut kedamaiannya. Ia pun menangis di tepi telaga tanpa seorang mendengarnya. Meski begitu, semangatnya tak surut sampai kapan pun. “Perlawanan abadi” begitulah lirik penutupnya.

Mengapa lagu Gadis dan Telaga begitu relate? Jawabannya adalah taruhan kedamaian masyarakat Trenggalek yang sedang terusik oleh masuknya tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan investornya dari Australia, Far East Gold (FEG). Bagaimana tidak? Sembiln dari 14 total kecamatan di Trenggalek masuk ke dalam wilayah konsesi tambang emas PT SMN.

Sembilan kecamatan itu mencakup beberapa wilayah pegunungan yang di dalamnya terdapat kebun warga, hutan, gunung, sumber air, bahkan dekat dengan pemukiman. Tak ayal, bayangan kerusakan alam mungkin telah menghantui keberlangsungan 148.900 jiwa masyarakat.

Pak Samidi dan Mas Marvin misalnya. Dua narasumber yang bermata pencaharian sebagai petani itu begitu getol menolak tambang emas di wilayahnya. Mereka sangat paham betapa mengerikannya dampak yang terjadi jika tambang beroperasi di wilayah mereka.

Ancaman tambang emas PT SMN ternyata tak hanya membuat para petani getol menolak. Sekali lagi, hal unik yang paling menonjol di Trenggalek adalah solidaritas dan kegigihan warganya untuk menolak tambang emas.

Kini, masyarakat dari berbagai golongan, komunitas, kelompok agama, kelompok pemuda, dan kelompok lainnya, tengah bersatu untuk mempertahankan Trenggalek dari ancaman kepunahan masal akibat tambang emas PT SMN.

Setelah beberapa menit aku mengulur perjalanan dengan kecepatan 20km/jam, sampailah aku di dekat perbatasan Trenggalek-Tulungagung. Sebuah pertigaan tempat di mana dulu aku pernah salah masuk saat mencari rumah seorang ojol yang pernah mengantarkan kambing ke antar kota, menjadi titik terakhir yang aku kenang.

Tak jauh di depanku, sebuah gapura selamat jalan seakan menandai akhir dari perjalananku di Trenggalek. Berpamitan dengan Trenggalek bukan berarti aku tak mengunjunginya lagi. Hanya pulang sementara kok, menyelesaikan studi kuliah. Nanti, setelah semua urusan selesai, mungkin aku akan sekali lagi atau berkali-kali mengunjungi Bumi Menak Sopal ini.

Di akhir perjalanan ini, satu harapan paling mendalamku adalah semoga masyarakat Trenggalek, khususnya yang tegak berjuang melawan tambang, selalu diberi kesehatan dan api perlawanan yang tetap membara.

Exit mobile version