Batik Tulis Tie Poek Trenggalek, Angkat Lokalitas hingga Dilirik Mancanegara

batik tulis tie poek trenggalek lokalitas mancanegara

Tipuk, pengusaha batik tulis Toe Poek Trenggalek, sedang mencanting batik motif Dillem Wilis/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)

Sejak 1970-an, batik tulis sudah mulai menjamur di Kabupaten Trenggalek. Saat itu, para perajin batik tulis Trenggalek terpusat di sekitaran Kelurahan Sumbergedong dan Surodakan. Hingga 2010, para buruh batik tulis yang kebanyakan berasal dari Desa Ngentrong, Kecamatan Karangan, membuka usaha batik sendiri.

Jumat, 22 September 2023, Tipuk (49), salah seorang pengusaha batik tulis Tie Poek Trenggalek, tampak sibuk melipat puluhan helai kain batik bermotif kipas cengkeh di ruang tamu rumahnya. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan pesanan batik dari Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Trenggalek.

Di sela-sela kesibukannya, Tipuk menceritakan awal mula dirinya merintis Usaha Dagang (UD) Batik Tie Poek Trenggalek. Jauh sebelum dirinya berhasil merintis usaha batik, ia sudah mulai membatik sejak 1985-an. Saat itu, Tipuk membantu ibunya, Sutarmi, seorang buruh pembatik di Batik Rahayu, Sumbergedong.

“Awalnya saya juga buruh batik ikut mamak di Batik Rahayu, sesepuh sini dulu,” kata Tipuk.

Hobi dan ketelatenannya dalam menggambar, membuat Tipuk yang semula membantu sang ibu mencanting kemudian dijadikan desainer gambar batik oleh pemilik Batik Rahayu. Tipuk menjadi desainer batik di Batik Rahayu sejak 1995. Hingga tahun 2010, Pemkab Trenggalek mengirimnya ke lomba yang tingkat Provinsi.

Di kompetisi itu, Tipuk memenangkan Juara Harapan 1. Hadiah dari kompetisi itulah yang kemudian ia gunakan untuk modal membuka usaha Batik Tie Poek. Di tahun yang sama itu lah Tipuk mulai membuka Batik Tie Poek.

“Karena hobi menggambar, itu turunan dari mamak. Dan waktu itu ikut lomba tingkat provinsi itu dapat Juara Harapan 1. Hadiahnya saya bikin modal usaha,” tambahnya.

Mengangkat Tema Lokalitas

Proses pewarnaan batik oleh pekerja batik Tie Poek/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)

Siang itu, halaman belakang Batik Tie Poek tak terlalu ramai. Halaman belakang rumahnya itu digunakan para pekerja untuk membatik sehari-hari. Hanya seorang perempuan dan seorang laki-laki pekerja yang sibuk menggoreskan cantingnya ke kain polos. Mereka nampak fokus dan jeli menggarap kain itu.

Tipuk mendekati mereka. Kemudian ia duduk dan mengambil kain yang sudah digambar. Tangan luwesnya perlahan menorehkan malam cair menebali motif kopi dan beberapa bangunan belanda yang sudah digambar tipis sebelumnya. Ia menyebut motif ini terinspirasi dari kebun kopi Dillem Wilis, salah satu ikon Trenggalek.

“Ini Dillem Wilis,” sebutnya, sambil menorehkan malam cair itu.

Tipuk menjelaskan banyak karya desain batiknya terinspirasi dengan lokalitas Trenggalek. Mulai dari hasil pertanian, ikon wisata, sampai budaya khas Trenggalek. Ide pengangkatan lokalitas itu sebagai representasi keindahan alam dan kebudayaan lokal Trenggalek.

Setelah menyelesaikan batiknya, Tipuk berdiri dan menunjukkan beberapa batik-batik yang terinspirasi dari lokalitas. Selain motif Dillem Wilis, Tipuk juga menunjukkan beberapa motif batik lainnya yang terinspirasi dari kesenian Trenggalek. Seperti batik bermotif Turonggo Yakso, wayang, dan sebagainya.

“Saya ngambilnya memang sering merancangnya pakai lokal Trenggalek. Kayak cengkeh, kesenian kayak Turonggo Yakso, jadi emang ini merancang sendiri itu dari lokalitas,” kata Tipuk.

Beberapa kain juga menampilkan motif dari hasil pertanian Trenggalek seperti cengkeh dan kopi yang merupakan komoditas lokal Trenggalek. Menurutnya, pelanggan Batik Tie Poek banyak yang menyukai jenis batik tulis klasik menggunakan warna alam ini.

Tipuk mengatakan alasan dari pengambilan tema-tema lokalitas Trenggalek dalam motif batiknya sebagai pengenang budaya Trenggalek.

“Alasannya, ya membudidayakan apa yang ada di Trenggalek biar dikenang dan tidak akan punah pada zamannya,” tuturnya.

Selain itu, pelanggan juga antusias dengan desain-desain batik yang dirancang oleh Tipuk sendiri. Kegemarannya dalam menggambar telah menciptakan sekitar 400 motif batik sejak 2010. Motif yang banyak dan variatif itu menjadi ciri khas produk batik tulis Tie Poek.

“Saya produksinya per motif gak banyak-banyak. Kecuali pesanan gitu. Nanti sudah berubah lagi gambarnya, jadi pembeli itu gak bosan,” ucap Tipuk.

Tipuk menjual hasil batiknya dengan beragam harga mulai dari Rp. 180 ribu sampai Rp 1.5 juta, tergantung tingkat kesulitan pengerjaannya. Per bulan, UD Tie Poek memproduksi 98 pcs kain batik dengan pendapatan rata-rata Rp. 24.5 juta. Sedangkan upah para pekerja batik tulis ini kurang lebih Rp 1.5 juta. Semua tergantung bagian tahap pengerjaan dan produktivitas pekerja.

Saat ini, terdapat 15 pekerja yang turut menggarap batik di UD Tie Poek. Kebanyakan pekerja merupakan ibu-ibu rumah tangga yang biasa bekerja sebagai petani. Sehingga para pekerja biasa mengerjakan batik sebagai sampingan di rumah masing-masing.

“Kalau dampak perekonomian, setelah ada usaha batik ini, alhamdulillah ibu-ibu yang selingkup ini [tetangga] ya meningkat,” ujarnya.

Upaya Mendorong Minat Membatik

Tipuk sedang melipat kain batik bermotif kipas cengkeh/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)

Menurut Tipuk, dulu batik di Trenggalek pernah hampir terancam punah di era 2000an. Hal itu disebabkan minimnya daya beli lokal dan kurangnya dorongan untuk pengenalan kepada generasi muda.

Disusul dengan gembar-gembornya Malaysia yang saat itu sempat mengklaim batik adalah budaya miliknya. Tak berlangsung lama, pemerintah Indonesia segera menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional setelah diakui sebagai salah satu warisan Budaya Lisan dan Non-Bendawi oleh UNESCO pada 2009.

Pemerintah setempat juga mendukung dengan adanya peraturan seragam dinas maupun seragam sekolah untuk menggunakan batik setiap dua hari dalam lima hari kerja. Menurut Tipuk, momen itu menjadi titik balik dari beranjaknya Batik Trenggalek dari kepunahan.

“Kemarin itu sebenarnya batik Trenggalek hampir punah. Terus waktu itu batik hampir diklaim Malaysia. Kebetulan pas saya habis menang lomba di provinsi, pemerintah langsung menghidupkan batik itu tadi,” ceritanya mengenang saat itu.

Meski kondisi sudah membaik, Tipuk mengutarakan salah satu kendala yang ia alami saat ini adalah sulitnya mencari regenerasi pembatik. Jika saat ia kecil belajar membatik diajarkan oleh ibunya, pemuda sekarang justru agak kurang minat untuk menekuni batik.

“Kalau minat pemuda untuk pekerjanya mungkin kurang. Apa ya, gak telaten gitu untuk anak-anak muda. Padahal sayang ya kalau batik ini kedepannya generasi muda gak ada yang nerusin,” kata Tipuk.

Menanggapi kurangnya minat generasi muda untuk menekuni batik, Tipuk sering mengadakan pelatihan-pelatihan bagi guru di sekolah. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA bahkan SLB. Dari pelatihan guru itu, ia berharap agar keterampilan membatik diajarkan di sekolah-sekolah.

Membatik memang membutuhkan kesabaran. Kerumitan mencanting detail motif perlu kehati-hatian agar malam yang diterakan tak melenceng dari desain yang sudah dirancang. Tetapi, menurutnya, pemuda tak harus belajar dengan motif yang rumit. Bisa dengan motif yang cenderung simple dan tidak rumit.

“Saya pingin anak-anak muda itu suka membatik. Sebenarnya untuk anak-anak muda batiknya simple tidak terlalu kerap,” ujar Tipuk.

Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan (Diskomindag) Kabupaten Trenggalek sering mengadakan pelatihan di Batik Tie Poek yang diikuti oleh berbagai peserta dari ibu-ibu PKK bahkan dari mancanegara.

Bahkan, salah seorang warga negara Jepang, begitu antusias mempelajari teknik batik tulis. Saat itu, ia rela berhari-hari belajar membatik di tempat Tipuk pada bulan Mei 2023. Bukan pertama kalinya, dulu saat Tipuk awal merintis usaha batik juga pernah didatangi seorang warga negara Belanda untuk belajar secara langsung.

“Jadi intinya batik itu gabisa dipaksa. Harus dari hati ke hati. Maksudnya untuk menekuni itu ada terkait dengan seni. Ada tantangan untuk sabar juga,” paparnya.

Tipuk berharap kedepannya para pemuda juga turut melestarikan budaya batik. Agar budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang itu tidak punah begitu saja.

“Ke depan untuk pemuda-pemudanya mungkin, ayo kita selalu melestarikan batik ini. Sayang kalau nggak dilestarikan. Soalnya ini warisan budaya dari nenek moyang,” tandasnya.

Exit mobile version