Meninggalkan Hiruk Pikuk Kota Malang lalu Menepi ke Trenggalek

meninggalkan hiruk pikuk kota malang menepi ke trenggalek

Suasana Trenggalek dari atas bukit Belik Waru/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)

“Emang harus ke Trenggalek?”

Sekelebat pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlahan memudar seiring motor tuaku melaju. Pertanyaan seperti itu sering muncul sejak aku memutuskan untuk mencari tempat magang di Trenggalek. Sudah sekitar tiga jam aku meninggalkan kota asalku, Malang. Setidaknya ini sudah lebih dari setengah jalan dari total 134 km perjalanan yang harus ku tempuh dari Malang ke Trenggalek.

Punggungku yang jompo sudah terasa lelah. Begitu juga motor tuaku mulai terengah-engah. Ditambah perut yang masih kosong memaksaku untuk menepi sejenak mencari sarapan di Tulungagung. Seketika aku menghentikan motorku di depan sebuah warung makan berdinding anyaman bambu. Aku mengetahui warung ini dari rekomendasi kawanku.

“Pak To” begitu lah nama warung makan yang aku singgahi. Sebuah warung sederhana tapi lumayan terkenal di kalangan mahasiswa UIN SATU. Selain karena harganya yang murah, cita rasanya pun membuat lidah sumringah. Lalu porsinya? Jangan tanya lagi. Bahkan kawanku menjuluki warung ini “portugal”, singkatan dari porsi tukang gali. Aku pun memutuskan beristirahat sejenak untuk menyarap sepiring nasi campur dan es teh.

Makan ditemani bising bunyi lalu-lalang kendaraan dan ramainya mahasiswa mengingatkan pada suasana kampusku sendiri di Malang. Setelah menikmati sepiring sarapan dengan segelas es teh, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Trenggalek.

Di sisa-sisa jalanan yang kutempuh, mataku terus menjelajahi pemandangan kiri kanan. Pikiranku tak henti-henti membayangkan akan mengulas segala unik dari kabupaten ini.

Lalu mengapa memilih Trenggalek?

Trenggalek, kadang disebut Nggalek, sebuah kabupaten kecil di selatan Gunung Wilis ini selalu mengingatkanku pada gambaran kota kecil di negara Jepang dari anime-anime buatan Studio Ghibli. Ya memang aku sendiri belum pernah ke Jepang, tapi bagiku Trenggalek ini cukup menarik. Mulai dari letak geografisnya yang dikepung banyak perbukitan sampai lika-liku konflik sosial dan lingkungannya. Mungkin itu pikirku ketika mulai memasuki gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kab. Trenggalek”.

Memilih Trenggalek sebagai tempat untuk menyelesaikan tuntutan studi kuliah (magang) adalah satu keputusan yang tepat bagiku. Kota Malang, tempat kampusku berada kini semakin berkembang menjadi kota yang padat. Struktur tata kota dengan beberapa kampus ternama yang letaknya berdekatan membuat kota ini lebih padat.

Apalagi setiap musim penerimaan mahasiswa baru, kampus selalu menambah kuota dari tahun ke tahun. Tahun ini saja kurang lebih telah ada sekitar 70 ribu mahasiswa baru telah berkuliah di Kota Malang. Hal tersebut menjadi salah satu faktor Kota Malang semakin padat, ramai, dan macet tentunya. Berbeda dengan Trenggalek yang memang notabenenya bukan kota pendidikan. Maka sangat wajar jika Trenggalek tidak terlalu ramai dengan bisingnya lalu lalang kendaraan terlebih di hari-hari kerja.

Bahkan yang membuatku takjub adalah udara di sini masih sejuk meskipun terasa agak panas. Jejeran pemandangan dengan perbukitan dan hamparan sawah tidak terhalangi oleh gedung-gedung bertingkat. Meski tengah berada di pusat kabupaten, pemandangan-pemandangan itu masih bisa dinikmati dengan jelas. Apalagi dinikmati dengan berkeliling menggunakan motor tua.

Suguhan bentang alam pun juga dimanfaatkan menjadi tempat wisata yang tersebar dari ujung timur hingga barat. Trenggalek juga dibranding menjadi kota wisata. Masyarakat dengan sendirinya telah memanfaatkannya sebagai wisata alam unggulan seperti pantai dan spot-spot camping. Bagi seorang yang penat dengan segala hiruk pikuk perkotaan, aku rasa kabupaten yang tenang ini begitu cocok untuk ditinggali meskipun hanya singgah beberapa waktu.

Lantas, apakah masyarakat Trenggalek hidup sebegitu damai? Mungkin sekarang iya. Benakku selalu berharap demikian. Tetapi, kabupaten dengan luas total 1.261,40 km² ini tengah terancam dengan keberadaan tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

Berdasarkan catatan WALHI Jatim, dari total luas wilayah Trenggalek, terdapat sekitar seperempatnya masuk ke dalam konsesi tambang emas PT SMN. Konsesi wilayah tersebut mencaplok sebanyak 9 dari 14 total kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Aktivitas pertambangan PT SMN tersebut juga akan berdampak pada keberlangsungan hidup 148.900 jiwa masyarakat Trenggalek. Selain itu, keberadaan tambang akan merusak kawasan pertanian, karst, pemukiman, hingga kerusakan-kerusakan ekologis lainnya.

Tetapi apakah masyarakat hanya tinggal diam? Sekali lagi yang membuatku takjub dengan Trenggalek adalah masyarakatnya! Mereka begitu sadar akan ancaman kerusakan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menolak keberadaan tambang tersebut. Aku rasa bagaimana masyarakat merespons isu lingkungan tersebut merupakan bukti bahwa kedamaian dan ketenangan hidup pun harus diperjuangkan.

Lalu sebagai penutup, aku menjawab pertanyaan paling awal dan jawabannya adalah, “Harus!”.

Exit mobile version