Pembuatan film dokumenter berbeda dengan pembuatan film genre lain. Dalam film dokumenter, seorang film maker atau pembuat film terlebih dahulu harus kenal dengan subjek yang akan didokumentasikan.
Film maker harus memahami bagaimana kebiasaan si subjek, apa rutinitas yang dijalani, bagaimana cara si subjek berinteraksi sosial, dan lain-lain. Tak ayal, selama proses pembuatan film dokumenter, film maker mendapatkan pengalaman berharga sekaligus unik.
Seperti Yanu Andi Prasetyo, seorang film maker asal Trenggalek, tepatnya dari Desa Widoro, Kecamatan Gandusari. Yanu baru saja menyelesaikan film dokumenternya yang berjudul ‘Melodi Dalam Gulita’. Sebuah film yang lolos seleksi dalam program Lensa Kreatif. Yang diselenggarakan oleh kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Pada film ‘Melodo Dalam Gulita’ Yanu, menjadi produser. Ia menggarap film bersama teman-temannya. Ada Zenith Bahariana (Line Produser), Nurhadi (Penata Gambar), dan Daiva Hendar (Perekam Audio). Kemudian, Tommy Gustiansyah (Editor) Achmad Lutfi Prasetya (Mixing Scoring), Eka Wulandari dan Robert Stitsonz (Subtitle), serta Zayinul Muhajibin (Ilustrator poster).
Dalam film tersebut, Yanu dan teman-temannya mengangkat sepasang kekasih penyandang disabilitas yang tinggal di Perumahan Inklusif Desa Prambon, Kecamatan Tugu. Mereka bernama Mustofa dan Kusnul Marlina Sari.
![Mengintip di Balik Layar 'Melodi Dalam Gulita', Film Kisah Hidup Sepasang Disabilitas Trenggalek 2 Pengambilan video di Pasar Pon Trenggalek](https://is3.cloudhost.id/img-kbrt/2023/01/Pengambilan-video-di-Pasar-Pon-Trenggalek.jpg)
Saat ditemui di kediamannya, Yanu bercerita tentang film ‘Melodi Dalam Gulita’ dan pengalamannya selama pembuatan film. Dalam film tersebut, Yanu mengangkat kawasan inklusif yang berada di Desa Prambon. Dengan sudut pandang salah satu keluarga yang tinggal di kawasan inklusif, yakni Mustofa dan Sari.
Penyandang disabilitas sering mendapat penilaian oleh beberapa masyarakat sebagai orang lemah, tidak berdaya, dan kurang mampu bekerja.
Namun, penilaian beberapa masyarakat itu dibantah Yanu melalui filmnya. Dalam film tersebut, Yanu mengangkat keseharian Mustofa dan Sari. Mereka merupakan penyandang tuna netra yang bisa hidup mandiri dan berbaur dengan masyarakat lainnya.
Dalam kesehariannya, Mustofa sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai tukang pijat dan penyanyi. Sementara, Sari sebagai ibu rumah tangga sekaligus seorang penyanyi.
“Aku mengangkat bagaimana romansa mereka, keseharian mereka. Kemudian kemandiriannya hidup sendiri dan memiliki rumah sendiri. Selain itu mereka juga menciptakan lagu dan ingin lagunya dikenal orang lain,” ungkap Yanu.
![Mengintip di Balik Layar 'Melodi Dalam Gulita', Film Kisah Hidup Sepasang Disabilitas Trenggalek 3 Mustofa kanan dan Sari tengah membaca dokumen film](https://is3.cloudhost.id/img-kbrt/2023/01/Mustofa-kanan-dan-Sari-tengah-membaca-dokumen-film.jpg)
Dengan keterbatasan yang ada, Mustofa dan Sari mengandalkan pekerjaannya untuk membayar angsuran rumah yang mereka tinggali di kawasan inklusif setiap bulannya. Jadi, mereka secara ekonomi bisa mandiri seperti orang pada umumnya.
Dalam kawasan inklusif ini, lanjut Yanu, orang yang menyandang disabilitas dan orang normal lainnya melebur jadi satu. Sebagaimana kelompok masyarakat lainnya. Mereka saling bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain tanpa adanya batasan.
Padahal, biasanya, orang normal ketika bersosialisasi dengan penyandang disabilitas memiliki batasan. Batasan tersebut datang dari orang normal yang menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok lemah yang kurang berdaya.
“Yang menarik itu, di kawasan inklusif penyandang disabilitas dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan,” ujar Yanu.
Yanu melihat, penyandang disabilitas di kawasan inklusif tidak ingin dikasihani. Mereka hanya ingin keberadaanya diakui oleh masyarakat dan mendapatkan ruang apresiasi atas kemampuan yang dimiliki.
“Mereka tidak senang jika dijadikan objek. Tidak dilibatkan [bermasyarakat], tidak diajak komunikasi dulu. ‘aku punya potensi begini, ya, libatkan’. Bukan terus tiba-tiba iba diberi belas asih,” ungkap mantan alumni ISI Surakarta jurusan Film dan Televisi tersebut.