Studi CELIOS: Tata Kelola Pertambangan di Indonesia Belum Memerhatikan Dampak Lingkungan

studi-celios-tata-kelola-pertambangan-di-indonesia-belum-memerhatikan-dampak-lingkungan

Potret Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi yang rusak akibat pertambangan emas/Foto: Dok. Ekspedisi Indonesia Baru

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) meluncurkan studi berjudul Gimmick Pro Lingkungan: Survei Kesenjangan Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Agraria dan Energi. Peneliti CELIOS, Muhammad Dzar Azhari Muthahhar, mengungkapkan salah satu hasil studi menunjukkan tata kelola pertambangan di Indonesia belum memerhatikan dampak lingkungan.

“Misal, 58 persen responden dalam studi ini menyatakan tata kelola pertambangan di Indonesia masih belum memerhatikan dampak lingkungan, baik sebelum ataupun pasca tambang. Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban pemegang izin usaha tambang untuk melakukan kaidah pertambangan yang baik menurut Undang-Undang Mineral dan Batubara tahun 2009 maupun undang-undang perubahannya tahun 2020,” ujar Azhari dilansir dari laman CELIOS.

Hasil studi menunjukkan terhadap sektor sumber daya alam (terutama pertambangan dan kehutanan), agraria (pertanahan) dan energi (ketenagalistrikan), masih meninggalkan kesenjangan yang tajam antara apa yang dicita-citakan oleh norma hukum di level regulasi dengan kenyataan yang terjadi di praktek.

Sementara peneliti CELIOS lainnya, Muhamad Saleh, dalam paparannya mengungkapkan bahwa sektor energi menghadapi tantangan. Sebab, proyek pembangkit listrik yang ada saat ini masih didominasi oleh energi kotor, dan undang-undang ketenagalistrikan tahun 2009 belum implementatif.

“70 persen responden kami menyatakan tidak setuju jika pemerintah bersama lembaga terkait saat ini telah meninggalkan pengembangan energi kotor seperti PLTU Batubara. Tidak hanya itu, setidaknya 55 persen responden menilai pemerintah saat ini belum menyiapkan rencana transisi energi dari energi kotor ke energi bersih dengan baik,” jelas Saleh.

Di sektor pertanahan, kesenjangan antara regulasi dan kenyataan di lapangan terjadi karena minimnya keterbukaan informasi dan rendahnya integritas pejabat administrasi terkait.

“62 responden petani menyatakan sulit untuk memohonkan pendaftaran sertifikat hak milik ke kantor pertanahan secara mandiri. Kesulitan ini terjadi, salah satu faktornya, karena pegawai kantor pertanahan belum bekerja secara cepat, jujur, adil, dan bersih dari korupsi. Padahal, pendaftaran tanah sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup petani yang diatur melalui PP No. 24 Tahun 1997 dan PP No. 18 Tahun 2021,” jelas Mhd Zakiul Fikri, peneliti CELIOS lainnya.

Lebih lanjut, Fikri mengungkapkan pemanfaatan ekstraksi serta hilirisasi sumber daya alam, transisi energi, hingga persoalan pertanahan sering menyebabkan berbagai konflik lingkungan terjadi.

“Kondisi ini bila dibiarkan terus berlanjut akan menjadi penghalang besar bagi pemerintah dalam memenuhi komitmen mewujudkan net zero emission hingga tahun 2060 nanti,” tandasnya.

Secara umum, studi yang dilakukan CELIOS memberikan rekomendasi untuk memastikan implementasi regulasi sumber daya alam, agrarian, dan energi yang berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia. Beberapa rekomendasi tersebut, di antaranya:

  1. Evaluasi terhadap seluruh regulasi yang digunakan dalam studi regulasi hijau sektor Sumber daya alam (pertambangan dan kehutanan), Agraria (pertanahan), dan Energi (ketenagalistrikan);
  2. Menghapuskan kriminalisasi terhadap masyarakat terdampak pembangunan/pembebasan lahan dengan penyelesaian legal-konstruktif;
  3. Memastikan adanya mekanisme uji tuntas lingkungan hidup pada aspek regulasi yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, dan lingkungan;
  4. Melakukan desentralisasi perizinan, pembinaan, dan pengawasan urusan sumber daya alam, agraria, dan energi kepada pemerintah daerah untuk memastikan terwujudnya prinsip otonomi daerah yang berkeadilan;
  5. Melibatkan partisipasi masyarakat secara konsisten dalam seluruh proses kegiatan usaha yang memiliki dampak terhadap masyarakat dan lingkungan;
  6. Mengatur secara tegas kewajiban menggunakan instrumen ESG (Environmental Social Governance) dalam seluruh kegiatan bisnis di Indonesia melalui regulasi khusus; dan
  7. Penguatan kelembagaan melalui pembentukan Kementerian Koordinator Khusus Perubahan Iklim yang bertugas mensinkronisasikan seluruh program pada kementerian teknis agar setiap mitigasi perubahan iklim pemerintah dapat berjalan secara integratif.
Exit mobile version