Gigi Mundur Pergerakan Mahasiswa Trenggalek

Gigi-Mundur-Pergarakan-Mahasiswa-Trenggalek

PMII Trenggalek saat melakukan aksi terima kasih di Kantor KPU Trenggalek/Foto: Dok. PMII Trenggalek

Tampaknya gigi mundur pergerakan mahasiswa Trenggalek sedang terjadi. Lantaran pada Senin, (26/02/2024) organisasi mahasiswa yang punya nama di Indonesia, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII Cabang Trenggalek telah melakukan aksi. Dalam banner aksi itu tertulis “PMII Trenggalek Terima Kasih atas Dedikasi KPU, PPK, PPS, (dan) KPPS atas terselenggaranya Pemilu 2024 yang Aman, Damai, dan Demokratis.”

Pada awalnya, saya sebagai anggota dan kader PMII Trenggalek sempat mengiyakan untuk ikut dalam aksi tersebut. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa pemilu aman, damai, dan demokratis itu adalah tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka saya tidak jadi berangkat.

Saya merasa tidak perlu berterima kasih kepada lembaga yang telah menjalankan dengan baik, lantaran itu sudah menjadi tugasnya dan mereka mendapatkan gaji sebagai apresiasi atas pekerjaan mereka.

Ucapan terima kasih sepatutnya tidak diucapkan mengatasnamakan organisasi. Cukup disampaikan secara personal atau jika perlu dilakukan lewat surat resmi. Bukan dengan aksi di depan kantor KPU Trenggalek.

Atau jika ingin lebih berkesan, ucapan itu bisa disampaikan kepada mereka orang-orang, kawan, atau tetangga sahabat-sahabati PMII Trenggalek yang telah rela menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Jadi penyampaian terima kasihnya secara personal. Saya sendiri paham, berdasarkan cerita tetangga yang menjadi KPPS, mereka sampai larut malam hanya untuk menghitung hasil pencoblosan surat suara.

Yakin Pemilu 2024 Demokratis?

Kemudian ada pernyataan PMII Trenggalek bahwa pemilihan umum atau pemilu 2024 berjalan dengan demokratis. Padahal, jika kita lihat realita yang terjadi di lapangan justru jauh dari kata demokratis.

Ada temuan dan hasil riset dari tiga pakar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari dalam film Dirty Vote yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono. Pemilu 2024 terdapat beragam kecurangan. Bahkan, kecurangan itu telah dilakukan jauh-jauh hari sebelum perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu.

Kecurangan-kecurangan yang dimaksudkan antara lain ketidaknetralan pejabatan publik yang memihak salah satu paslon, penyalahgunaan wewenang jabatan, dan potensi pengorganisiran kepala desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon) presiden dan wakilnya.

Kemudian, yang paling mencengangkan adalah potensi penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang tendensius untuk mendongkrak suara salah satu paslon. Perlu diketahui, anggaran bansos 2024 hampir menyentuh Rp. 500 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran bansos saat masa pandemi Covid-19.

Bivitri Susanti mengungkapkan, berdasarkan catatan sejak Pemilu 2009, anggaran bansos selalu meningkat setiap kali menjelang pemilu. Selain itu, ia mengungkapkan pembagian bansos di 2024 juga “ugal-ugalan”. Pasalnya, baru bulan Januari 2024 saja telah menembus angka 78, 06 triliun.

Menurut Feri Amsari, kecurangan-kecurangan Pemilu 2024 itu tidak cukup dikerjakan dalam waktu singkat dengan orang terbatas. Melainkan dilakukan dengan banyak orang dan terstruktur. Sehingga kecurangan Pemilu 2024 tampak begitu halus dan seringkali terabaikan dari perhatian publik.

Dari situ saja PMII Trenggalek seharusnya sudah bisa memberikan penilaian bahwa Pemilu 2024 berlangsung tidak demokratis. Apa lagi kita tahu, ada salah satu calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat usia minimal bisa lolos ikut mencalonkan diri setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi aturan syarat pendaftaran.

Yang bermula dari syarat usia minimal 40 tahun, menjadi diperbolehkan untuk mendaftar dengan syarat telah atau sedang menjadi kepala daerah. Perlu diingat, salah satu Hakim MK adalah paman dari orang yang mendaftar cawapres itu.

Sehingga, bagi PMII Trenggalek tidak ada alasan lagi jika Pemilu 2024 berlangsung secara demokratis. Sangat aneh sekali jika pernyataannya kebalikannya. Serta bertolak belakang dengan cita-cita para tokoh dan pendiri PMII yang memperjuangkan demokrasi.

Tulisan ini semata-mata saya buat sebagai autokritik terhadap organisasi, PMII. Kenapa dimuat di muka publik? Karena pernyataan PMII Trenggalek berterima kasih juga di publik, maka saya perlu menunjukkan narasi tandingan di muka publik juga. Semoga PMII terus berbenah dan tidak menjadi wadah untuk berterima kasih. Salam Pergerakan!

Exit mobile version