Cerita Kreatif Kabul Cultural Space: Tolak Tambang Emas Trenggalek Lewat Lagu Pakarti

Jaranan Turonggo Yakso, simbol melawan keangkaramurkaan. Ditampilkan di gelaran Trenggalek Menari #2

Jaranan Turonggo Yakso, simbol melawan keangkaramurkaan. Ditampilkan di gelaran Trenggalek Menari #2/Foto: Yanu Andi P for Kabar Trenggalek

Sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Trenggalek nomor 702/2005 yang memberikan izin konsesi eksplorasi pada PT SMN, masyarakat tak tinggal diam. Ada banyak cara yang ditempuh masyarakat Kabupaten Trenggalek untuk menolak tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

Tak terkecuali di kalangan seniman. Lewat karya seni, mereka menyuarakan tolak tambang emas Trenggalek yang mengancam kawasan hutan lindung, wilayah pemukiman hingga lahan pertanian. Salah satu suara penolakan itu datang dari seniman yang tergabung dalam Kabul Cultural Space (KCS).

Sejak bulan Januari 2021, KCS memulai perjalanan sebagai ruang yang mewadahi seniman di Kabupaten Trenggalek. Seni tari, musik dan teater merupakan beberapa bentuk seni yang mereka wadahi. Salah satu pegiat KCS, Kurnia Septa Erwida (30), menuturkan sikap penolakan tambang emas pada Kabar Trenggalek, Minggu (10/12/2023).

Kabul Cultural Space dan Masyarakat

Kurnia Septa Erwida saat ditemui Kabar Trenggalek di kediamannya/Foto: Ghani Yoseph (Kabar Trenggalek)

“Nyawiji, Ngabekti, Migunani”
[Bersatu, Berbakti, Berguna]

Tiga kata itu menjadi slogan yang diusung oleh Kabul Cultural Space. Mulanya, KCS diinisiasi oleh tujuh orang penggandrung kesenian. Kini, hampir tiga tahun lamanya mereka telah menghidupi nafas salah satu wadah berkesenian di Trenggalek.

“Kita menyatukan visi, kita harus mengangkat Trenggalek dengan berbagai potensinya,” cerita Kurnia Septa di kediamannya.

Kediaman Kurnia Septa yang terletak di Dusun Gondang, Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari kini menjadi tempat berkumpul KCS. Di sana, tampak jelas bahwa KCS dekat dengan masyarakat. Seringkali kediaman Kurnia Septa tak lengang oleh aktivitas warga sekitar ditambah kedatangan para penggandrung kesenian di Trenggalek.

“Kita itu berkomitmen untuk menjadi satu tidak terpecah-pecah. Kalau sudah bersatu, ayo ‘ngabekti’. ‘Ngabekti’ itu apa? Memberikan sumbangsih [pada daerah] tanpa pamrih,” ujar Kurnia Septa.

“Kalau sudah berhasil ‘nyawiji’ dan ‘ngabekti’, ya berarti akhirnya bisa memberikan guna manfaat bagi Trenggalek,” tambahnya.

Sejak pertama kali aktif hingga sekarang, KCS telah menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian. Kegiatan yang telah mereka selenggarakan meliputi disiplin seni teater, tari, dan musik.

Pada 1 Maret 2021, KCS melakukan kegiatan pertamanya. Kegiatan yang mereka lakukan terbilang unik, sebab mereka menggelar aksi pementasan tari ‘celengan’ di tengah kubangan jalan rusak yang berada di Desa Kerjo, Kecamatan Karangan. Aksi ini mereka lakukan sebagai bentuk perpanjangan aspirasi masyarakat memprotes kondisi infrastruktur jalan yang rusak parah.

Bagi Kurnia Septa, aksi yang dilakukan dua tahun silam merupakan upaya ‘menghibur’ masyarakat yang resah akibat buruknya infrastruktur.

“Daripada menggerutu ya kan, lebih baik kan orang lewat jalan itu terhibur, lucu-lucu kok,” ucap Kurnia Septa dengan nada sarkastis.

Tak hanya itu, KCS juga pernah menggelar kegiatan kreatif lainnya. Satu bulan setelah aksi “Jogeti Dalan Rusak”, tepatnya pada 17 April 2021, KCS menggelar kegiatan amal. Bertajuk “Kethoprak Amal (Kethomal) Peduli NTT”, mereka menampilkan pagelaran kethoprak secara daring sembari menggalang donasi untuk korban bencana banjir dan tanah longsor di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Waktu itu kan online ya [sebab pandemi], dadi nonton e ya neng YouTube, mburine green screen kan (jadi nontonnya di YouTube, pakai latar belakang green screen),” cerita Kurnia Septa.

Saat itu, KCS menampilkan lakon fiksi berjudul “Prahoro Mustiko Selo Kencono”. Lakon ini bercerita tentang sebuah ‘benda ajaib’ yang apabila diambil dari tempatnya, maka akan mendatangkan bencana. Dari pementasan ini, KCS berhasil mengumpulkan galangan dana mendekati 11 juta rupiah.

“Kami hadir itu bukan sebagai rival government [pemerintah], kami hadir sebagai panjang tangan [masyarakat]. Kami [juga] hadir sebagai partner [masyarakat],” tegas Kurnia Septa menyoal Kabul Cultural Space.

Mencipta Lagu Pakarti

Video Klip Lagu Pakarti oleh Kabul Cultural Space/Foto: @kabulculturalspace (Instagram)

Tak hanya seni tari dan teater, Kabul Cultural Space juga menyediakan ruang bagi seni musik. Hingga saat ini, KCS telah merilis dua single ciptaan mereka. Salah satunya bertajuk “Pakarti” yang diunggah 7 Juli 2021 silam di Instagram dan Spotify.

Lagu “Pakarti” bermula dari keresahan para pegiat KCS tentang kehadiran tambang emas di Trenggalek. Selain itu, lagu “Pakarti” juga muncul sebagai bentuk dukungan pada masyarakat yang getol menolak keberadaan tambang emas.

“Kami memberikan dukungan kepada aktivis-aktivis, bahwa kami juga peduli dengan keberadaannya,” jelas Kurnia Septa.

Kurnia Septa menceritakan bahwa proses penggarapan lagu “Pakarti” sangat cepat. Proses pembentukan ide, rekaman, aransemen hingga penggarapan video klip terjadi dalam hitungan hari. Menurut Kurnia Septa, kesamaan visi dan kekompakan sangat mendukung proses penggarapan karya KCS.

Lirik lagu “Pakarti” digarap secara bersama-sama oleh beberapa pegiat KCS dan dinyanyikan oleh Yoga Septi. Aransemen lagu ini digarap oleh Achmat Luthfi Prasetya menggunakan software audio digital. Kendati demikian, lagu “Pakarti” tetap melekatkan bunyi alat musik tradisional cukup kontras.

Kurnia Septa menjelaskan, bunyi alat musik tradisional seperti suling dilekatkan sebab KCS ingin mempertahankan ciri khas mengangkat lokalitas. Selain alat musik, lagu “Pakarti” juga dibuka dengan sorakan “e… a… e… o…” khas seni jaranan pegon Trenggalek.

“Kami berusaha mengangkat lokalitas seperti senggakan [sorakan jaranan] pegon Trenggalek. Dan itu hanya ada di sini,” jelas Kurnia Septa.

Makna Lagu Pakarti

“Nggalek wis ayem apa anane, adoh saka kutha sing panas hawane”

[Trenggalek sudah tentram apa adanya, jauh dari perkotaan yang panas hawanya]

Begitulah penggalan dua baris pertama lirik lagu “Pakarti”. Dalam Bahasa Jawa, ‘pakarti’ berarti sikap, sifat atau perilaku. Makna ‘sikap’ itulah yang diambil oleh Kabul Cultural Space sebagai tajuk utama.

Lagu “Pakarti” muncul sebagai bentuk pernyataan sikap seniman Kabul Cultural Space menolak tambang emas Trenggalek. Selain itu, lagu “Pakarti” juga membawa misi untuk menjadi pengingat masyarakat dalam melestarikan alam.

“[Lagu Pakarti] Adalah pernyataan sikap. Bagaimana sikap kami menyikapi [kondisi] lingkungan di Trenggalek saat ini. Lek isa awakedewe ojo kehilangan ‘emas hijau’ dan ‘emas biru’ [Kalau bisa kita jangan sampai kehilangan kekayaan hutan dan kekayaan laut],” tutur Kurnia Septa.

Dengan lirik yang sederhana, pendengar diajak untuk mengingat kembali kondisi alam di Bumi Menak Sopal saat kondisi asri.

“Nalika cilik adus kali resik,
Ora wedi kulit nganti mbesisik
Yen tak angen pengin mbaleni,
kaya wingi dulurku isih nyawiji
Ndolani alam sing isih asri,
Mangan saka asile bumi.”

[Saat kecil mandi di sungai bersih,
Tak takut kulit sampai kering bersisik
Bila kubayangkan ingin mengulang
Seperti kemarin saudaraku masih bersatu
Bermain ke alam yang masih asri
Makan dari hasil bumi]

Kurnia Septa menjelaskan, penulisan lirik sederhana dipilih agar terkesan dekat dengan obrolan sehari-hari. Penulisan lirik yang sederhana juga dipilih agar pesan dapat dengan mudah dimaknai.

“Bayangkan asiknya jaman dulu. Bayangkan jika ini [tambang emas] terjadi, apa yang bakal kita wariskan ke anak cucu?,” ucap Kurnia Septa.

Pada pertengahan lagu, lirik “Pakarti” membawa para pendengar pada imajinasi rusaknya alam.

“Saiki rasane sumpeg pikirku,
nyawang keadaan sing ora tentu”

[Sekarang rasanya sesak pikiranku,
Melihat keadaan yang tak menentu]

Kondisi dimana alam sudah tak asri, sungai-sungai telah tercemar, dan laut yang rusak menjadi ‘mimpi buruk’ yang coba digambarkan dalam lagu.

“Jadi [lirik lagu “Pakarti] menceritakan mimpi sumber air susah, hasil laut sudah sulit didapat. Kan itu mimpi yang sangat buruk,” jelas Kurnia Septa.

Pada bagian akhir, lagu “Pakarti” ditutup dengan doa dan harapan agar kondisi rusaknya alam tak terjadi. Dalam video musik, pengharapan dalam lirik lagu ditimpali dengan kata “amin” selayaknya berdoa.

“Muga muga iki mung ngimpiku,
ora kedadéyan sing nganggu turu”

[Semoga ini hanyalah mimpiku,
Tak terjadi hal yang mengganggu tidur]

Kurnia Septa juga menyampaikan harapan yang senada dengan lirik lagu “Pakarti”. Menurutnya, kelestarian alam Trenggalek merupakan kekayaan yang harus dibanggakan dan dijaga, bukan malah dirusak dan dieksploitasi. Selebihnya, ia juga berharap karya KCS dapat menginspirasi seniman lain agar selalu membawa kearifan Kabupaten Trenggalek dalam karya seni.

“Bangga menjadi Trenggalek itu adalah salah satu wujud syukur karena kita sudah dilahirkan di tanah yang indah ini,” tutur Kurnia Septa.

“Kita telah diberikan udara yang sejuk, kita minum dari air yang disediakan, kita makan dari sawah di depan. Apa yang bisa kamu berikan setelah Trenggalek memberikan sebegitu banyak hal untukmu?” tambahnya.

Exit mobile version