Ternyata Ini Asal-Usul Istilah Buaya Darat, Sebutan Laki-Laki Hidung Belang

ternyata ini asal usul istilah buaya darat sebutan 2

Ilustrasi. Asal-usul istilah buaya darat yang disematkan pada laki-laki hidung belang/Foto: Canva

Buaya adalah hewan tak bersalah yang menjadi korban manusia. Manusia sering memburu buaya meskipun termasuk hewan yang dilindungi, baik hukum internasional maupun hukum di Indonesia.

Selain diburu untuk diambil daging dan kulitnya, buaya juga jadi korban manusia sebagai bentuk pelampiasan. Di Indonesia ada istilah “buaya darat” yang dipakai untuk menyebut laki-laki hidung belang.

Biasanya, jika ada laki-laki yang sering memainkan perasaan wanita, berganti-ganti pasangan, memiliki pacar lebih dari satu akan disebut buaya darat. Padahal, buaya adalah hewan paling setia pada pasangannya.

Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian selama 10 tahun yang dilakukan tim peneliti asal Universitas Georgia Amerika Serikat pada 2009. Hasil penelitian itu mereka tuangkan dalam jurnal berjudul Molecular Ecology (Q1) dengan judul paper “Multi-year multiple paternity and mate fidelity in the American alligator, Alligator mississippiensis”.

Penelitian yang mereka lakukan di Rockefeller Wildlife Refuge, sebuah rawa besar di Lousiana, buaya akan tetap berkembang biak dengan pasangannya yang sama setiap musim kawin berlangsung.

Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana sih laki-laki hidung belang disebut buaya darat? Padahal, buaya secara biologi adalah hewan yang setia pada pasangannya.

Asal Usul Istilah Buaya Darat

Ilustrasi. Laki-laki Playboy sedang merayu perempuan/Foto: Canva

Ada beragam informasi yang beredar tentang asal usul istilah buaya darat di Indonesia. Baik menyamakan perilaku laki-laki hidung belang dengan cara berburu buaya di alam, peristiwa yang pernah melibatkan buaya di masyarakat, hingga sebuah legenda.

Ahmad Supardi, dalam artikel Kebiasaan “Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya” yang terbit di Mongabay Indonesia pada 15 April 2015. Ia menyebutkan bahwa buaya muara (crocodylus porosus) memiliki “kecerdasan” saat berburu mangsa.

Saat berburu, buaya berdiam diri di dalam air sembari mengamati hewan yang akan dimangsa. Bahkan, hewan buruannya itu tidak menyadari ada predator yang sedang mengintai di balik tenangnya air.

Saat hewan buruannya lengah, buaya baru akan menyergapnya dengan kecepatan tinggi. Kemudian menarik mangsa ke dalam air untuk melemahkan. Baru disantap sebagai makan siang yang “menggembirakan”.

Jika perilaku buaya dalam berburu ini dikaitkan dengan laki-laki hidung bisa dikatakan logis. Karena, laki-laki hidung belang saat mempermainkan perempuan strateginya mirip buaya.

Si laki-laki hidung belang akan memberikan perhatian dan sebuah ketenangan pada perempuan. Ia akan mengajak bertemu, mengucapkan kalimat gombalan-gombalan, memberi hadiah saat si perempuan ulang tahun, dan lain-lain.

Lambat laun, si perempuan hanyut terhadap rayuan laki-laki hidung belang itu. Bahkan, ia tidak sadar jika menjadi “korban” yang akan dipermainkan perasaannya.

Setelah mendapatkan si perempuan, laki-laki ternyata juga mendekati perempuan lain secara diam-diam. Sekalipun, dengan perempuan sebelumnya sudah terjalin status pacaran.

Penambahan kata “darat” berkaitan dengan laki-laki yang notabennya manusia hidup di daratan. Sementara, buaya adalah hewan semi-aquatik (yang juga hidup di air selain di darat).

Jadi, istilah “buaya darat” yang digunakan untuk menyebut laki-laki hidung belang sebagai simbol, bahwa laki-laki itu memiliki sifat buaya dalam berburu.

Lain hal dengan catatan Samsudin Adlawi dalam artikel “Binatang yang Memperkaya Bahasa” yang dimuat di majalah Tempo, akhir 2012 silam. Istilah buaya darat muncul pada tahun 1971.

Istilah buaya darat populer dimasyarakat karena peristiwa yang melibatkan hewan buaya di Sorongiyit, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di tempat itu, ada penangkaran buaya.

Penangkaran itu diawasi oleh pemiliknya, baik siang dan malam. Namun, suatu Ketika ada buaya jantan yang lepas dan menghebohkan warga. Mereka harap-harap cemas, takut diterkam buaya yang lepas itu.

Setelah tiga bulan pencarian, buaya jantan yang lepas itu ternyata sedang berduaan dengan buaya betina di lokasi berbeda dari tempat penangkaran asalnya. Buaya betina itu memiliki jarak usia yang jauh dari buaya jantan tadi.

Mulai dari situ, setiap laki-laki yang memiliki hubungan romantis selain dengan pasangan sahnya (selingkuh) dijumpai dengan “dasar buaya!”.

Berbeda dengan yang ada di Jember, ada versi lain yang mengatakan awal istilah buaya darat berasal dari Riau. Di sana ada legenda tentang Buaya Baltazur, yakni buaya siluman yang memiliki keanehan.

Diceritakan, buaya itu gemar memburu gadis di desa-desa. Tiap ditemukan, korban dari buaya itu ditemukan utuh tidak dimakan. Akan tetapi, gadis yang menjadi korbannya itu kehilangan keperawanannya.

Istilah Buaya Darat di Luar Negeri

Istilah buaya darat juga tak hanya eksis di Indonesia saja. Meski tidak spesifik menyebut buaya darat, di luar negeri juga ada penyebutan buaya untuk merujuk laki-laki yang gemar bermain hati. Seperti yang diungkapkan Meylisa Sahan dalam artikel “Buaya Darat di AIYA Kongres 2021 “ yang terbit di laman Aiya pada 2021 silam.

Ia mengungkapkan, ada sastra klasik yang ditulis Sir John Madeville pada abad ke-14. Ia menulis buku berjudul “The Voyage and Travel”. Buku itu mengisahkan sebuah buaya yang memiliki bentuk tubuh seperti ular.

Buaya itu memiliki kebiasaan berendam di air saat malam hari, namun berdiam diri di goa saat malam tiba. Buaya itu gemar memburu manusia dan membawanya ke goa yang telah menjadi sarangnya.

Tiap kali makan, mata buaya itu mengeluarkan air mata seolah-olah menangis. Dari sini muncul istilah air mata buaya, yang berarti air mata palsu, kemudian beredar pula dongeng-dongeng tentang buaya yang suka menipu, atau pura-pura menangis. Beberapa mengaitkan hal ini dengan istilah lelaki buaya darat yang suka menipu wanita dengan air mata palsu.

Demikian artikel tentang asal-usul istilah buaya darat muncul di masyarakat untuk merujuk laki-laki hidung belang. Semoga artikel ini bermanfaat dan para pembaca, terutama perempuan, dijauhkan dari laki-laki buaya darat.

Exit mobile version