Tari Gandhong Munjungan, Kesenian Masyarakat Agraris Trenggalek yang Hampir Tergerus Zaman

tari gandhong munjungan seni masyarakat agraris trenggalek

Pemain tari Gandhong di Desa Bangun Kecamatan Munjungan/Foto: Septa Erwida (YouTube)

Rabu malam, 27 September 2023. Selepas azan isya’ bertepatan dengan suasana Maulid Nabi, sayup-sayup kumandang sholawat nabi terdengar di masjid-masjid sepanjang Jalan Raya Munjungan.

Malam itu, seorang pria sedang sibuk membantu mengerjakan tugas sekolah cucunya di ruang tamu rumahnya. Pria itu bernama Saini Predeng (58), lebih akrab dipanggil Saini, warga asli Dukuh Lancur, Desa Bangun, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek.

Di Dukuh Lancur itulah tari Gandhong Munjungan lahir. Sebuah seni tari yang merepresentasikan kehidupan masyarakat agraris Trenggalek.

Selepas membereskan tugas sekolah cucunya, Saini menceritakan asal-usul tari Gandhong dengan hangat. Saat ini, Saini telah menjadi salah satu pelestari tari Gandhong generasi ke sembilan. Ia mengaku sejak usia muda sudah ikut menjadi bagian dari kelompok Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun. Tepatnya setelah lulus SLTA tahun 1983.

“Untuk paguyuban itu sudah turun temurun. Kalau saya dipercaya untuk mengetuai itu tahun 2013,” ujar Ketua dari Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun itu.

Saini menjelaskan, kata gandhong diambil dari akronim Jawa “gandhulan” dan “dong” yang mempunyai maksud bunyi kentongan yang digantung saat dipukul. Masyarakat di pedesaan menggunakan kentongan sebagai isyarat terjadinya sesuatu atau terkadang seruan untuk berkumpul.

Saini memperkirakan tarian ini sudah ada sejak 1830-an. Saat itu, Desa Bangun masih berupa padukuhan yang dinamakan Kandhut. Barulah memasuki tahun 1901, Desa Bangun berdiri secara administratif yang dikepalai oleh Lurah Setrowirono. Desa Bangun memiliki 4 dusun dan Dukuh Lancur masuk ke wilayah Dusun Bangunsari.

“Tari gandhong itu diciptakan mungkin sekitaran tahun 1830-an. Karena di situ Tari Gandhong diciptakan warga yang mbabat [merintis] desa bersamaan membuka lahan pertanian dan pemukiman. Tari gandhong memang asli Desa Bangun tepatnya di Padukuhan Lancur,” ucap Saini.

Sejarah tari gandhong tak lepas dari fungsi kentongan di masa lalu. Saini mengatakan, tarian ini berasal dari tradisi masyarakat Dukuh Lancur yang saat itu membuka lahan untuk pertanian di hutan. Para warga menggunakan kentongan sebagai alat berkomunikasi dan pengusir hama.

Penampilan babak keempat tari Gandhong menggambarkan pengusiran hama/Foto: PS media (YouTube)

Meski Saini tak mengetahui pasti siapa pencipta tarian ini, tetapi ia mencatat nama Mbah Sukirno sebagai generasi sebelumnya yang turut menjadi pewaris sekaligus pengembang tari gandhong. Mbah Sukirno lah yang mendirikan Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun pada tahun 1980.

“Tari gandhong memang dilestarikan secara turun temurun. Masalah yang menciptakan itu tidak saya tulis karena di era pelestari Mbah Sukirno, generasi di atas saya, itu hanya disampaikan dulu yang menciptakan mbah-mbah [leluhur],” terang Saini.

Melalui Mbah Sukirno itulah, Saini mencatatkan seadanya informasi yang sudah turun temurun terkait asal usul tari gandhong. Sebagai pemegang amanah warisan kesenian budaya, Saini mencoba mengarsipkan catatan sejarah dan filosofi tari gandhong ke dalam buku catatannya. Ia menuliskan itu sebagai pengingat agar cerita tentang lahirnya tarian di Dukuh Lancur.

Saini mengungkapkan, dalam perkembangannya, eksistensi tari gandhong mengalami masa pasang surut. Hingga di tahun 2011, Saini bersama Mbah Sukirno kembali membangkitkan Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun. Waktu itu, bangkitnya tari gandhong diikuti oleh semangat pemuda-pemuda Dukuh Lancur untuk mempelajari tari Gandhong.

Hasilnya, tari gandhong sempat eksis dan meramaikan beberapa festival budaya di tingkat kecamatan dan kabupaten. Saini menceritakan, tari gandhong selalu ditampilkan di acara peringatan bersih desa setiap bulan Syuro di Desa Bangun. Masyarakat Desa Bangun benar-benar mengakui tari gandhong memang berasal dari desanya.

“Masyarakat Desa Bangun terutama Dukuh Lancur masih mengakui kalau tari gandhong betul-betul tradisi yang diciptakan berasal dari Desa Bangun. Sehingga ketika ada kegiatan yang sifatnya positif seperti bersih desa, tari gandhong diminta untuk dipentaskan,” tutur Saini.

Saini mengatakan, dulunya tari ini kerap diundang di acara-acara hajatan (tanggapan) masyarakat Desa Bangun. Tari gandhong yang mulanya hanya menampilkan tari-tarian, kemudian dikembangkan dengan sisipan dagelan ala-ala ludruk atau ketoprak. Hal itu dilakukan untuk memperpanjang waktu penampilan.

“Mungkin kalau di acara hajatan, disisipkan di sela-sela tari itu semacam bentuk lawakan. Itu untuk memperpanjang waktu. Tapi kalau untuk di festival-festival kan waktunya terbatas. Sehingga hanya cukup di tarinya saja,” kata Saini.

Sampai hari ini, Saini bercerita, ia mengaku sangat membuka lebar kepada siapapun yang ingin mempelajari atau menelusuri tari gandhong. Diketahui beberapa mahasiswa dari berbagai daerah pernah mendatangi Dukuh Lancur untuk melakukan penelitian terkait tari gandhong.

Filosofi Budaya Masyarakat Agraris

Para penabuh tari Gandhong di desa Bangun/Foto: PS media (YouTube)

Saat memasuki wilayah Desa Bangun, hamparan padi menghijau dari ujung barat hingga timur. Rangkaian pegunungan yang masih hijau mengepung desa yang berada di sebelah timur Kecamatan Munjungan ini.

Saini yang sehari-hari bekerja sebagai petani mengatakan, sejak dulu, masyarakat Dukuh Lancur memang mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup dari hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kopi, dan juga hasil perkebunan. Keseharian masyarakat agraris Dukuh Lancur terabadikan dalam setiap lekuk gerakan tari gandhong lengkap dengan pakaian keseharian yang sederhana.

Dalam penampilannya, tari gandhong terbagi menjadi empat babak tarian yang masing-masing memiliki alur cerita tertentu. Setiap babak, tari gandhong dimainkan sekitar 4-6 orang. Tarian ini menggunakan kentongan sebagai alat instrumen utama yang menyimbolkan fungsi kentongan sebagai pengusir hama dan tanda berkumpulnya petani. Tari gandhong juga diiringi dengan instrumen gamelan dan tembang-tembang Jawa.

“Tari itu sebenarnya diciptakan itu untuk kegiatan petani pada masa itu. Tentang gerak-gerik tari gandhong itu memang gerak-geriknya seorang petani yang membuka lahan pertanian. Dimulai dari sarak [memetak lahan], terus membuka pertanian, menanam, memelihara, sampek menjaga dari hama celeng. Sehingga diciptakan tari itu ada empat babak,” ucap Saini menjelaskan masing-masing babak dengan singkat.

Babak pertama dibuka dengan tari Sarak yang menggambarkan proses petani saat melakukan pemetakan lahan untuk membuka sawah. Para penampil menggunakan kostum kombor (baju) hitam-hitam dan membawa pemukul kentongan. Mereka berjalan melenggak-lenggok memutari kentongan berwarna merah putih yang berada di tengah-tengah.

Setelah babak pertama selesai, para penari berganti peran untuk babak selanjutnya. Babak yang kedua adalah tari Tani Makaryo. Babak kedua ini memperagakan para petani yang mulai menanam di sawah. Para penari menggunakan capil, udeng, dan sabuk yang khas sebagai pakaian petani Dukuh Lancur saat mulai bercocok tanam.

Di babak yang ketiga, para penari akan memperagakan seolah-olah babi hutan yang masuk dan merusak tanaman petani. Tarian ini dinamakan tari Hama Celeng. Para penari Hama Celeng dirias wajahnya mirip celeng. Begitu pun geraknya, penari berjalan merangkak seperti hewan berkaki empat dan kepalanya melirik kanan kiri mengawasi datangnya manusia.

Babak ketiga kemudian bersambung dengan babak terakhir yaitu tari Onggotruno atau pengusir hama. Di babak ke empat, penari memasuki area pentas dengan membawa pemukul, tombak bambu, dan kentongan untuk mengusir babi hutan. Di babak penutup ini, terkadang ada adegan bela diri ketika manusia melawan babi hutan.

“Gerakan tadi menggambarkan seorang petani yang membabat hutan, mencangkul, menyiangi tanaman, menjaga keamanan dari hama bahkan mengusir. Bahkan gerakan-gerakan itu masih benar-benar asri lokal dulu,” katanya.

Ia menambahkan, alat-alat properti yang digunakan dalam tari gandhong juga masih relevan digunakan sampai sekarang oleh masyarakat pedesaan. Tarian ini juga sebagai pengingat tentang kehidupan masyarakat agraris dalam prosesnya membuka lahan.

“Terkait filosofi yang ada di tari gandhong semuanya mengandung makna kebutuhan di era-era masa diciptakan. Dan tidak terduga, sampai sekarang masih digunakan di masyarakat desa,” tambahnya

Tergerus Perkembangan Zaman

Saini, ketua Paguyuban Tari Gandhong Pakaryan Tani Margo Rukun/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)

Malam itu Saini bercerita, sebenarnya ia cukup prihatin jika melihat kondisi tari gandhong sekarang. Seiring waktu berjalan, tari gandhong pun turut tergerus perkembangan zaman. Saini mengatakan jika cukup sulit untuk mencari regenerasi pelestari.

Tahun 2013 menjadi tahun terakhir bagi Paguyuban Tari Tani Pakaryan Margo Rukun melakukan reorganisasi pelestari. Saat ini, setelah sepuluh tahun berlalu, paguyuban ini belum kembali melakukan reorganisasi. Hal itu dikarenakan sulitnya mencari generasi muda yang minat untuk turut melestarikan kesenian ini.

Meskipun kenyataannya tari gandhong masih sering ditampilkan di kegiatan-kegiatan sekolah seperti perpisahan. Saini juga mengatakan anak-anak usia SD-SMP sebenarnya juga banyak yang mementaskan tari gandhong melalui kaset. Artinya, tari gandong sebenarnya masih diminati di luar Desa Bangun. Hanya saja untuk menjadi pelestari masih sulit ditemui.

“Memang gini, untuk generasi itu sulit karena hanya semacam pelestari yang melestarikan peninggalan mbah dulu. Tergerusnya zaman yang sudah maju sehingga minat dari generasi itu kurang atau bahkan tidak ada kalau tidak benar-benar digembleng diajak gitu,” jelas Saini.

Menurut Saini, minat generasi muda untuk melestarikan juga dipengaruhi dengan turunnya minat masyarakat untuk mengundang tanggapan. Kesenian yang digerakkan secara berkelompok tentu membutuhkan banyak biaya, waktu, dan pikiran. Saini menyadari itu sebagai kendala bagi para pelaku kelompok kesenian.

“Seni yang sifatnya perkumpulan, itu kalau di desa, kalau katakan di desa sudah nggak laku, artinya tidak diminati tidak ditanggap orang, itu sudah bubar,” ucap Saini.

Menyikapi hal ini, Saini tak terlalu banyak bersuara. Menurutnya, pemerintah bersama dinas terkait seharusnya bisa turut mendukung keberadaan para pelestari tari gandhong dengan cara mempromosikan.

“Mungkin ikut mempromosikan dan seterusnya bahwa tari gandhong itu betul-betul ada diciptakan desa Bangun,” terangnya.

Tetapi Saini hanya bisa pasrah. Ia dan rombongan pelestari tari Gandhong berkomitmen akan tetap meneruskan kesenian asli warisan nenek moyangnya. Seminimal mungkin ia mengusahakan tari gandhong tidak sampai mengalami kepunahan. Meski dalam perjalanannya ia mengaku terseok-seok.

“Intinya gini dari rombongan itu tetep tari gandhong itu dilestarikan sebagai tari tradisi dari Desa Bangun. Itu syukur kalau diakui pemerintah. Paling nggak, setidaknya tidak terus vakum itu sebagai pengingat generasi seterusnya bahwa tari gandhong itu memang tradisi daerah sendiri. Jadi, meskipun terseok-seok, generasi ke generasi tetep ada yang melestarikan,” terangnya.

Di akhir cerita, Saini berharap akan adanya generasi-generasi yang tergugah untuk turut melestarikan tari gandhong, terutama pemuda Desa Bangun. Sehingga, tari gandhong yang lahir dari Desa Bangun akan tetap lestari dan dikenal orang.

“Kami selaku pelestari ya dengan adanya gandhong itu tetap dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun timbul tenggelam kami berusaha gandhong tetap ada meski digunakan pada saat-saat tertentu,” tandas Saini.

Exit mobile version