Fatia Sebut Pola Konflik Tambang Emas Trenggalek Sama dengan Daerah Lain

fatia sebut pola konflik tambang emas trenggalek sama daerah

Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS 2020-2023/Foto: Beni Kusuma (Kabar Trenggalek)

Berbagai kalangan masyarakat Trenggalek terus menggencarkan penolakan tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN). Izin tambang yang melahap 9 kecamatan dari 14 kecamatan Kabupaten Trenggalek itu dinilai akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada mata pencaharian masyarakat.

Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS 2020-2023, menyebut konflik tambang emas Trenggalek memiliki kesamaan pola dengan konflik-konflik akibat pembangunan dan pertambangan di wilayah lain. Konflik itu terjadi dikarenakan pembangunan yang cenderung tidak sejalan dengan nilai-nilai HAM.

Hal itu dijelaskan Fatia dalam sebuah diskusi publik Festival Keadilan dengan tema ‘Menjaga Alam Trenggalek dari Ancaman Tambang Emas Terbesar di Pulau Jawa‘, Jumat (15/09/2023).

Fatia menyebutkan, pembangunan yang tak sejalan dengan nilai HAM seperti di Pulau Rempang akan menimbulkan konflik. Seperti yang dialami masyarakat Rempang hari ini. Mereka sedang terancam penggusuran proyek Rempang Eco City yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN).

“Apa yang terjadi di Rempang hari ini dan tempat-tempat lainnya itu adalah bagian dari agenda yang tidak sejalan dengan nilai-nilai HAM itu sendiri,” ujar Fatia.

Berdasarkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1966, tidak dibenarkan adanya perampasan hak suatu bangsa terhadap sumber-sumber penghidupannya sendiri.

Hal tersebut telah disebutkan dalam Bagian II Pasal 1 nomor 2, “Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri.”

Fatia mengakatan, semestinya pemerintah harus memperhatikan standar internasional pembangunan yang harusnya sejalan dengan nilai-nilai HAM.

Pembicara dan moderator di Festival Keadilan Trenggalek 2023/Foto: Beni Kusuma (Kabar Trenggalek)

“Semestinya kalau pemerintah kita pintar dan baca standar internasionalnya yang namanya pembangunan itu harusnya ada nilai-nilai hak asasi manusianya,” ucap Fatia.

Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), pada 2020 terdapat 45 kasus konflik pertambangan. Sedangkan dalam rentang waktu masa kepemimpinan Joko Widodo sejak 2014, ada 116 konflik pertambangan yang tercatat. Tambang emas yang diwacanakan mengeksploitasi alam Trenggalek termasuk salah satu dari 116 catatan itu.

Luasan wilayah konsesi tambang emas Trenggalek mencapai lebih dari 12 ribu hektar, mencakup kawasan rawan bencana, hutan lindung, perkebunan rakyat, dan karst. Masyarakat Trenggalek yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan tentu akan terdampak jika alam mereka ditambang.

Bahkan, menurut Fatia, proyek-proyek tambang yang terjadi kerap berujung pada kriminalisasi. Masyarakat Wadas di Jawa Tengah atau Kulonprogo di Yogyakarta misalnya. Di luar Pulau Jawa, konflik-konflik pertambangan juga terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah. Perjuangan menjaga alam dan ruang hidup justru berakhir pada kriminalisasi terhadap masyarakat.

Fatia mengatakan, masyarakat hari ini bertahan memperjuangkan tanah dari eksploitasi tambang justru berjuang melawan bisnis kapitalisme yang difasilitasi pemerintah.

“Nah itu mereka terdampak langsung oleh proyek-proyek itu tadi. Ada lagi teman-teman kita di Morowali dan Pulau Obi. Mereka juga berjuang hari ini dengan yang namanya bisnis. Bisnis apa? Bisnis tambang,” katanya.

Fatia menyampaikan, masyarakat Trenggalek harusnya bisa terkoneksi dengan berbagai masyarakat yang berjuang menolak tambang di daerah-daerah lain seperti Sangihe misalnya. Hal itu menurutnya penting karena masyarakat bisa meneladani kisah sukses bagaimana masyarakat berjuang bertahan dari eksploitasi tambang.

“Kayaknya penting nih temen-temen Trenggalek untuk bisa bertemu langsung dengan teman-teman yang mengadvokasi Sangihe. Supaya kita bisa sharing story, cerita-cerita yang bisa kita tempuh hari ini,” ujar Fatia.

Menurutnya, masyarakat daerah yang menghadapi konflik-konflik seperti ini sudah seharusnya saling terkoneksi. Karena konflik-konflik di berbagai daerah punya pola yang sama dan dampak yang sama.

“Harus bisa terkoneksi satu sama lain. Karena apa? Punya pola yang sama, punya kekerasan yang sama, dan punya dampak yang sama,” tandas Fatia.

Exit mobile version