Tewas di Kolam Renang Trenggalek, Praktisi Hukum: Polisi Jangan Tunggu Laporan

tewas di kolam renang trenggalek praktisi hukum polisi janga

Tiga anak tewas di kolam renang Trenggalek/Foto: Raden Zamz (Kabar Trenggalek)

Pasca insiden merenggut 3 nyawa di Kolam Renang Tirta Jwalita Trenggalek pada Minggu (04/06/2023) lalu, polisi menunggu suara laporan dari pihak keluarga korban. Selain itu, polisi melakukan penyelidikan dalam satu bulan ke depan.

Haris Yudhianto, Praktisi Hukum Kota Alen-Alen Trenggalek, menyoroti terkait langkah yang diambil polisi. Menurutnya, saat peristiwa korban tewas di kolam renang Trenggalek, ada indikasi mengarah pada tindak pidana.

Kata Haris, indikasi mengarah pada tindak pidana yaitu kelalaian yang menyebabkan 3 korban tewas. Melihat demikian, seyogyanya, polisi melakukan langkah tanpa harus menunggu laporan dari korban.

“Jadi dalam hal ini polisi harus bisa membedakan antara laporan dan pengaduan seperti kata Pak Mahuf MD [Menkopolhukam], maka seharusnya tidak perlu menunggu adanya laporan,” tegasnya saat dikonfirmasi.

Ketua Peradi Trenggalek itu melanjutkan, Peristiwa terjadi lantaran secara teori, polisi bisa membuat laporannya sendiri. Hal itu terjadi karena setelah ada peristiwa itu, polisi telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), dan ada anggota yang mengetahui kejadian tersebut.

Dengan demikian dalam laporan polisi (LP) yang akan terbit, pelapor bisa ditulis polisi. Apalagi polisi telah mengetahui ada indikasi tindakan pidana secara langsung.

“Dalam hal ini [pelapor polisi] sudah sering terjadi, sebab beda dengan pengaduan yang membuat aduan adalah yang dirugikan langsung,” ungkapnya.

Haris menjelaskan, dalam hakikat hukum ada dua jenis, yaitu hukum publik dan privat. Publik merupakan hukum yang mengarah ke tindakan pidana, dan dalam kasus tersebut polisi harus mewakili kepentingan publik, bukan privat alias keluarga korban.

“Sebab jika peristiwa tersebut tidak diproses secara hukum, maka tidak menutup kemungkinan hal serupa bakal terjadi lagi. Apalagi secara pendalaman, peristiwa tersebut terjadi lantaran ada kesalahan pada standar operasional prosedur [SOP],” paparnya.

Sedangkan, terkait ketakutan polisi akan ketidak kooperatifan keluarga korban jika kasus tersebut tetap diproses sehingga mengganggu jalannya penyelidikan, termasuk tidak berkenan untuk dilakukan otopsi itu hanyalah alasan.

“Proses otopsi harus ada izin keluarga untuk dilakukan, tapi perlu diingat dalam kasus pidana ada lima alat bukti yang bisa disajikan untuk memenuhi minimal dua alat bukti guna dilakukan penuntutan. Sehingga laporan hasil otopsi tersebut hanya memenuhi satu alat bukti,” terang Haris di ruang kerjanya.

Haris menambahkan, masih ada alat bukti lain yang bisa disajikan polisi untuk menangani kasus tersebut. Apalagi hasil visum luar dari tim medis telah keluar, sehingga hal tersebut bisa dilakukan untuk kelengkapan alat bukti.

“Ini merupakan kasus pidana bukan perdata, sehingga dalam proses pengadilan pidana selalu menitikberatkan kepada keterangan para saksi, bukan laporan tertulis seperti perdata. Jadi dalam hal ini polisi berperan sebagai perwakilan pemerintah, dan pemerintah harus hadir dalam peristiwa hukum publik ini,” tandasnya.

Exit mobile version