
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mengkritik langkah Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja No 2 Tahun 2022, pasca MK memutuskan UU Cipta Kerja Inkonsitusional Bersyarat.
Menurut JATAM, Perppu Ciptaker menunjukkan watak kekuasaan rezim yang culas, dikendalikan pebisnis dan cenderung masa bodoh dengan gelombang protes penolakan rakyat.
“Penerbitan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember lalu itu, adalah contoh nyata soal bagaimana rezim Joko Widodo yang lihai memanfaatkan kekuasaan politik untuk kepentingan pebisnis di satu sisi, dan secara sistematis mempersempit ruang gerak warga yang mempertahankan hak atas ruang hidupnya di sisi yang lain,” terang JATAM melalui rilis resminya.
JATAM menemukan beberapa permasalahan dari Perppu Cipaker. Masalah itu didasari oleh isi Perppu 2/2022, termasuk menyandingkannya dengan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, UU Minerba No 3 Tahun 2020, dan UU Panas Bumi serta Ketenaganukliran. Berikut 7 catatan JATAM atas Perppu Cipaker.
Kosakata Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) digunakan oleh Presiden Jokowi sebagai slogan populis untuk mengatasi ancaman krisis, cipta lapangan kerja, dan juga seolah-olah Presiden telah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta kerja 11/2020 yang sebelumnya dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat.
Perppu 2/2022 secara umum wataknya masih sama, hampir tak ada bedanya dengan UU Cipta Kerja No 11/2020, dimana terjadi sentralisasi perizinan ke pemerintah pusat, serta mempertahankan siasat-siasat licik menaklukkan ruang, melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Industri (KI), Kawasan Srategis Nasional (KSN), dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Pada sektor pertambangan batubara berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) yang diatur sebelumnya dalam UU Cipta Kerja 11/2020, misalnya, justru diperkuat dalam Perppu 2/2022 pasal 39 yang menyisipkan pasal 128A ayat (2) halaman 221, dengan menambah kata IUP dan IUPK.
Melalui pasal ini, perusahaan yang melakukan hilirisasi jelas menangguk untung. Dari 11 perusahaan tambang yang berkomitmen untuk melakukan hilirisasi batubara, tujuh di antaranya berkomitmen untuk melakukan proyek gasifikasi batubara dengan produk akhir Dymethyl ether (DME) dan methanol.
Ketujuh perusahaan itu, antara lain PT. Bukit Asam Tbk (PTBA), PT. Kaltim Prima Coal (KPC), PT. Kaltim Nusantara Coal, PT. Arutmin Indonesia, PT. Kendilo Coal Indonesia, PT. Adaro Indonesia, dan PT. Berau Coal. Proyek gasifikasi dari tujuh perusahaan itu ditaksir membutuhkan pasokan batu bara mencapai 19,17 juta ton setiap tahunnya.
Sisanya, PT. Multi Harapan Utama, PT. Kideco Jaya Agung, PT. Megah Energi, dan PT. Thriveni mengolah produk seperti semi kokas dan briket batubara. Kini, tiga perusahaan itu sudah berproduksi secara komersial.
Laman: 1 2